Wednesday, September 27, 2006

"Mud Volcano" Sidoarjo 2: status bahaya


Foto 1. Kita menghadapi musim hujan dengan tanggul seperti ini? (suarasurabaya.net)

Sampai hari ini, Rabu 26 September 2006, nampaknya belum ada kesepakatan tentang status bahaya dari Mud Volcano Sidoarjo. Detik.com pada tanggal 22 September 2006 memberitakan bahwa, Menteri ESDM menyatakan bahwa Pemerintah baru akan menetapkan Status Bahaya jika kondisi luapan lumpur di Porong, Sidoarjo telah mengancam keselamatan manusia. Dikatakan bahwa, saat ini kondisi luapan lumpur di lapangan eksplorasi Lapindo Brantas statusnya masih Darurat.

Selanjutnya dicontohkan bahwa penerapan Status Bahaya pernah dilakukan oleh Wakil Bupati Sidoarjo, yang saat itu memerintahkan membuang lumpur ke Kali Porong. Saat itu, tanggulnya jebol dan pemukiman rakyat terganggu.

Selain itu juga diberitakan bahwa dalam rapat dengan Menteri ESDM, Menteri Lingkungan Hidup, dan Menteri Kelautan, Komisi VI DPR-RI meminta Tim Nasional Penaggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo untuk merubah Status Darurat menjadi Bahaya dalam upaya penangulangan semburan lumpur yang telah memasuki hari ke 117.

Masalah status bahaya menjadi isu yang penting karena status bahaya menentukan tindakan yang akan dilakukan. Sebagaimana diberitakan oleh TEMPO Interaktif pada hari Selasa 12 September 2006, dengan judul "Lumpur Lapindo Tidak Akan Dibuang ke Laut", Menteri Negara Lingkungan Hidup Rahmat Witoelar mengatakan, lumpur yang ada di Sidoarjo tidak akan dibuang ke laut. "Kami tetap ingin menyelamatkan lingkungan," katanya di Gedung DPR siang tadi. Kementerian lingkungan hidup, dia melanjutkan, tetap mengusahakan keselamatan lingkungan dan manusia. Karena, berbahaya apabila dikonfrontasi antara keselamatan alam dengan kepentingan manusia. Namun, jika pilihan akhir harus menyelamatkan manusia maka lumpur tersebut mau tidak mau akan dibuang ke laut. "Prioritas kita tetap menyelamatkan manusia," katanya. Sebelumnya, Bupati Sidoarjo, Win Hendarso mengatakan bahwa lumpur yang saat ini masih terus keluar dari perut bumi akan dibuang ke laut untuk menyelamatkan kepentingan manusia. Menurut Rahmat, ucapan bupati tersebut, sah-sah saja. "Itu soal pilihan bahasa saja," katanya.

Persoalannya adalah siapa yang berhak menentukan status bahaya itu ? Apa yang menghalangi Pemerintah untuk menetapkan satu institusi tertentu sebagai pemegang otoritas untuk menyatakan status bahaya lumpur itu?

Erupsi Gunung Merapi dan Erupsi Mud Volcano

Ketika terjadi erupsi Gunung Merapi di awal tahun ini, di minggu-minggu awal kegiatan erupsi sempat muncul situasi yang hampir sama dengan situasi ketika menghadapi masalah lumpur Sidoarjo ini. Namun, keadaan yang kacau itu segera berakhir ketika Pemerintah mangambil keputusan yang dengan tegas menyatakan bahwa Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) yang berkedudukan di Yogyakarta adalah yang memegang otoritas untuk menentukan status bahaya erupsi Gunung Merapi. Sejak penetapan itu, semua gerakan yang berkaitan dengan evakuasi pengungsi menjadi lebih terkendali dan arah dengan baik.

Sementara itu, di sisi yang lain, BPPTK dalam menetapkan status bahaya atau aktifitas Gunung Merapi telah memiliki suatu prosedur tetap yang merupakan standar Internasional. Dengan demikian, ketika suatu tingkat aktifitas ditetapkan, hal itu tidak mengundang protes dari pihak lain.

Keadaan atau situasi yang melingkupi erupsi Gunung Merapi di Yogyakarta itu sangat berbeda dengan keadaan yang melingkupi erupsi Mud Volcano di Sidoarjo. Seperti telah sama-sama kita ketahui, meskipun telah lebih 100 hari erupsi Mud Volcano terjadi, belum jelas apa yang harus dilakukan. Perbedaan pendapat masih terus berlangsung, sementara ancaman bahaya yang makin lama makin besar itu terus mendekat.


Bahasa Api vs Bahaya Lumpur

Status tingkat bahaya berkaitan erat dengat besar atau kecilnya serta tingkat kepastian ancaman terhadap jiwa manusia. Ketika kita berhadapan dengan erupsi Gunung Merapi, kita berhadapan dengan magma yang berbicara dengan Bahasa Api. Bahasa Api sangat jelas ketika mengisyaratkan ancaman terhadap keselamatan jiwa manusia, sehingga kita tidak memprotesnya ketika dikatakan bahwa suatu keadaan atau kegiatan erupsi sedang atau akan terjadi dan mengancam jiwa manusia.

Kondisi yang berbeda terjadi pada Bahasa Lumpur. Lumpur tidak mengancam keselamana jiwa atau merusak benda-benda secara instan. Berbeda dengan aliran Awan Panas yang sangat dramatis ketika berlalu dan menyapu segala yang dilewatinya, Lumpur tidak demikian. Orang yang berkubang dengan lumpur tidak mati. Rumah-rumah yang digenangi lumpur tidak hancur. Keadaan itu menyebabkan orang rumahnya atau sawahnya digenangi lumpur masih menyimpan harapan untuk dapat kembali ke rumahnya dan kembali mendapatkan sawahnya setelah lumpur tidak ada lagi.

Dengan kata lain, Bahasa Api berbicara sangat tegas dan lugas ketika datang melanda, sementara itu Bahasa Lumpur masih memberikan harapan. Lumpur itu ketika datang menggenangi pemukiman dan persawahan di Sidoarjo seakan berkata manusia: "Sekarang kamu pergi dulu sebentar. Nanti setelah saya pergi, kamu boleh kembali lagi menempati rumahmu dan menggarap lagi sawahmu".

Bahasa Lumpur yang lugu itu tampaknya telah membuat orang lalai dalam mempelajari karakteristik lumpur yang datang. Pemerintah (pengambil keputusan) lalai mempelajari lumpur apa yang datang dan dari mana asalnya dan berapa banyak. Lalai mencari tahu apakah kedatangannya hanya dalam waktu singkat atau selama waktu yang tidak dapat ditentukan. Bahasa Lumpur yang lugu juga menyebabkan Pemerintah (pengambil keputusan) tidak memperhatikan apa yang dikatakan oleh yang mengetahui karakter lumpur itu. Janji lumpur itulah yang tampaknya juga dipegang oleh banyak orang, sehingga banyak penduduk yang kampungnya terendam lumpur tetap berharapan akan kembali ke rumah-rumah mereka. Kembali menggarap sawah mereka.

Pemerintah pun tampaknya terpengaruh oleh bahasa lumpur itu, sehingga tidak jelas apa yang akan dilakukan menghadapi lumpur itu. Berharap bahwa lumpur akan dapat dihentikan dan kemudian menyingkirkannya.

Status Bahaya Lumpur

Karakteristik lumpur sangat berbeda dengan karakteristik magma atau api. Oleh karena itu, seharusnya kita memperlakukannya dengan cara yang berbeda ketika menetapkan status bahaya lumpur. Aliran awan panas yang memiliki karakteristik api sangat jelas mengisyartkan bahaya. Awan panas yang melanda aka menghancurkan segala yang dilalui dan mematikan segala kehidupan. Keadaan seperti itu bukan karakteristik genangan lumpur. Karakteristik genangan lumpur yang perlu diperhatikan adalah berapa banyak lumpur itu, apakah kedatangannya dapat dihentikan, dan berapa lama genangan itu akan berlangsung.

Awan panas memang mematikan, tetapi setelah dingin orang dapat kembali lagi ke daerah yang dilanda awan panas itu untuk memulai kembali kehidupan. Sementara itu hal yang berbeda terjadi pada lumpur. Memang lumpur tidak mematikan, tetapi bila terus menggenangi suatu kawasan, maka tidak ada hal yang dapat dilakukan selain kita harus menyingkir ke tempat lain, atau lumpur itu kita bersihkan. Kita tidak dapat hidup di genangan lumpur.

Mengingat karakter lumpur yang sangat berbeda bila dibandingkan dengan karakteristik awan panas, maka kita tidak dapat begitu saja menetapkan status bahaya lumpur dengan dasar ancaman terhadap keselamatan (jiwa) manusia. Tetapi kita harus melihat pada hal: (1) berapa lama genangan lumpur akan terjadi, dan (2) berapa luas kawasan yang akan digenangi lumpur. Jadi, persoalannya bukan pada berapa banyak jiwa yang akan melayang tetapi pada: (1) berapa banyak manusia akan mengungsi, (2) kegiatan produktif yang terhenti, serta (3) berapa banyak aktifitas yang terganggu dengan genangan lumpur.

Selanjutnya, bila kita dapat menerima karakter lumpur seperti yang diuraikan di atas, maka persoalan (1) mengetahui bisa atau tidak semburan lumpur itu dihentikan, serta (2) mencegah makin luasnya kawasan genangan lumpur menjadi hal yang penting, Kemudian, tingkat bahaya lumpur ditentukan berdasarkan pada kemungkinan atau kemampuan mencegah makin meluasnya kawasan genangan lumpur itu.

Dengan demikian, dalam menentukan status bahaya lumpur Sidoarjo itu, ada tiga hal yang harus diperhitungkan, yaitu (1) semburan lumpur, (2) tanggul penahan lumpur, dan (3) curah hujan.

Semburan lumur, bila terus berlangsung maka akan selalu meningkatkan status bahaya genangan lumpur. Kita tidak dapat mengendalikan faktor ini.

Tanggul penahan lumpur, bila kita hanya memakai tanggul sementara untuk menahan lumpur, maka makin lama makin memperbesar tingkat bahaya. Pembuatan tanggul permanen akan mengurangi tingkat bahaya genangan lumpur. Kita dapat mengendalikan faktor ini, tetapi beberapa waktu yang lalu ada kegiatan penentangan dari penduduk yang pemukimannya tergenang lumpur atas usulan pembuatan tanggul permanen.

Curah hujan akan tinggi di musim hujan. Ini berarti bahwa di musim hujan tingkat bahaya genangan lumpur tinggi. Pengaruh kondisi curah hujan terhadap tingkat bahaya genangan lumpur berkaitn erat dengan kondisi tanggul. Kita tidak dapat mengendalikan ini.

Menghadapi musim hujan yang akan datang, dengan kondisi semburan lumpur yang terus berlangsung, maka penilaian yang objektif untuk menetapkan status bahaya genangan lumpur Sidoarjo bisa kita lakukan dengan menilai kondisi tanggul-tanggul penahan lumpur yang ada sekarang.

Salam dari Ancol, 27 September 2006
Wahyu

No comments: