Friday, September 08, 2006

Bila Lumpur Dipertahankan di Darat: apa yang merisaukan?

Lumpur, bila hanya satu cipratan kecil, sepele. Diusap dengan tangan pun bersih. Tetapi bila jumlahnya jutaan meter kubik seperti yang sekarang mengolam dengan di Sidoarjo itu, siapa yang berani menganggap enteng padanya?

Mari kita lihat telah ditimbulkan oleh genangan itu (dari Koran Tempo, Rabu 6 September 2006):
1. PT. Telkom di Jawa Timur mengalami kerugian: (a) Kerugian kesempatan rata-rata Rp. 3 juta per hari, (b) Terputus 660 satuan sambungan telpon, (c) Infrastruktur garbu kabel fiber optik, rugi ditaksir Rp. 1,5 milyar, dan (d) Kabel yang ditanam di bawah tanah, kerugian mencapai Rp. 1 milyar; (e) perbaikan 240 jaringan dari 1.012 sambungan, menghabiskan dana Rp. 76 juta.
2. Sebanyak 24 perusahaan tergenang lumpur. Kerugian aset pabrik diperkirakan mencapai Rp. 163 milyar.
3. Jalan tol Surabaya – Gempol, setiap hari diperkirakan kehilangan pendapatan Rp. 60 juta karena penggratisan. Kerugian akibat kerusakan infrastruktur diperkirakan Rp. 10-12 milyar.
4. PT Perisahaan Listrik Negara, sebesar Rp. 6,4 milyar.

Kita masih bisa membuat sederetan lagi kerugian karena lumpur itu (bila ada memiliki datanya, silahkan diisikan):
1. Sawah yang tergenang ....... hektar.
2. Rumah yang tergenang ...... buah.
3. Sekolah yang rusak ........ buah
4. Orang yang mengungsi ........ orang
5. Orang yang kehilangan pekerjaan / mata pencaharian ....... orang
6. Perusahaan angkutan rugi kesempatan dan hilang penumpang ....... rupiah
7. Tambahan biaya angkutan barang ......... rupiah
8. Biaya pembuatan tanggul ........ rupiah
9. Berbagai fasilitas umum yang rusak ....... rupiah.
10. Eksportir yang rugi karena keterlambatan pengiriman barang ........ rupiah.

Masih bisa kita buat lagi kerugian yang tak terhitung (ada yang bisa mengkonversikannya ke nilai rupiah?):
1. Hidup dalam ketidak-pastian (sampai kapan semua masalah ini berakhir?)
2. Kehilangan barang-barang yang dicintai
3. Stress karena mengungsi
4. Hidup dalam kekhawatiran (bagaimana bila musim hujan tiba?)
5. Kerugian waktu, biaya, dan tenaga (yang seharusnya bisa untuk mengurus persoalan lain)

Lalu, kita juga masih bisa mempertanyakan: “Apakah semua biaya itu hanya sampai di situ saja?, atau akan terus bertambah lagi?, sampai kapan?”.

Kita semua tidak tahu sampai kapan semburan lumpur itu akan berhenti. Yang pasti, sekarang ini volume genangan makin terus menggelembung, dari hari ke hari. Bahkan, sekarang telah muncul lagi satu titik semburan baru di Desa Jatirejo, Porong (Detik.com, suarasurabaya.net, Media Indonesia online). Bisa dibayangkan kekhawatiran yang sedang dialami penduduk desa itu?

Bila lumpur panas itu terus kita pertahankan di darat (tidak boleh dibuang ke laut), maka bisa kita pastikan bahwa volumenya akan terus bertambah, sementara upaya nyata untuk mengurangi volumenya secara signifikan belum ada.

Bila kita bertahan dengan pilihan tetap mempertahankan lumpur di darat, hanya ada dua pilihan:
1. Mempertinggi tanggul untuk mengimbangi meningkatnya volume lumpur. Pilihan ini berarti kita memilih bahaya resiko tanggul jebol dan bahaya itu akan makin besar seiring dengan makin bertambahnya volume lumpur dan makin tingginya tanggul (sementara kita tahu kualitas tanggul yang ada sekarang, sangat tidak memadai karena sifatnya sementara). Sampai kapan pilihan ini sanggup kita pertahankan?
2. Memilih mempertahankan tinggi tanggul, berarti memilih memperluas kawasan genangan. Pilihan ini berarti pula memilih memperbesar angka-angka kerugian yang telah dideretkan di atas? Akan makin besar kerugian materil. Akan makin besar jumlah penduduk yang mengungsi. Akan makin besar penduduk yang mengalami stress. Dan seterusnya.

Adakah pilihan lain? Bagaimana bila berharap pada paranormal? Kejawen?
Sebagai alternatif upaya menyelesaikan masalah, mungkin ada diantara kita yang setuju dengan cara itu. Tetapi, apakah kita berani bertaruh sedemikian besar pada harapan yang tidak memiliki dasar yang dapat dipegang atau diperhitungkan?

Sekarang kita telah berada di awal bulan September. Musim hujan akan datang di bulan Oktober atau Nopember dan terus berlangsung sampai Februari atau Maret. Pertanyaan kita sekarang adalah, sanggupkah tanggul-tanggul yang kita buat itu menahan lumpur di musim hujan mendatang? Atau, kita berharap musim hujan tidak akan datang? Dan, mengharapkan tiba-tiba semburan lumpur berhenti menyemburkan lumpur besok pagi?

Atau, kita menunggu dipaksa “membuang” lumpur ke laut? (karena kelemahan yang tidak mampu membaca?).


Salam dari Ancol, Jum'at, 8 September 2006
Wahyu

No comments: