Friday, September 22, 2006

KORBAN LUSI, MENGAPA KITA PERLAKUKAN BERBEDA?

Pada tanggal 9 September 2006, di dalam rubrik Opini Harian Kompas, Jaya Suprana menulis tentang korban LUSI, yang isinya menyuarakan kritikan atas perbedaan perlakuan yang kita berikan terhadap mereka yang terkena LUSI dan tsunami Aceh atau Gempa Yogya.

Berikut ini adalah sebagian dari tulisan Jaya Suprana itu:

********
Sebenarnya nasib naas Sidoarjo setaraf dengan Aceh dan Yogyakarta. Malah jika Aceh dan Yogyakarta dengan penuh gelora semangat masih bisa lantang mencanangkan program Bangkit Kembali, Sidoarjo justru tidak memiliki sisa apa pun untuk dibangkitkan kembali. Bumi Sidoarjo seolah sudah "terkutuk" menjadi lahan yang mustahil dimanfaatkan untuk perumahan, industri, maupun pertanian. Yang masih tersisa hanya dijadikan semacam monumen percontohan malapetaka ekologi buatan manusia.

Dahulu itu kita sempat terkagum-kagum menyaksikan ulah CNN, BBC, ABC, dan berbagai stasiun TV internasional begitu sengit berebut sibuk memberitakan peristiwa bencana yang menimpa Aceh dan Yogya, tapi kini mengenai malapetaka Lusi nyaris tak terlihat pemberitaannya. Sepoi-sepoi pun tidak!
------------
Masih segar hadir dalam ingatan kita semua adegan masyarakat tidak hanya dari seluruh pelosok Nusantara, tetapi juga mancanegara berbondong-bondong mengunjungi dan memadati Aceh dan Yogyakarta di masa pascatsunami dan gempa sebagai ungkapan rasa prihatin dan duka mereka terhadap Ibu Pertiwi yang sedang menangis. Meski banyak juga yang berdatangan untuk sekadar melakukan sight-seeing sebagai turis-bencana.

Namun, rasanya tidak terlalu banyak insan dalam maupun luar negeri yang secara khusus berkunjung ke Sidoarjo secara prihatin, padahal skala derita rakyat akibat bencana Lusi cukup setara dengan tsunami Aceh dan gempa Yogya untuk diprihatinkan. Bahkan, dalam hal harapan menyongsong masa depan, kondisi pascabencana Lusi di Sidoarjo pada hakikatnya jauh lebih tragis dan lebih pesimistis ketimbang Aceh dan Yogyakarta!
---------------
Mungkin, segenap sikap terkesan kurang peduli itu timbul akibat kejenuhan atas peristiwa rentetan bencana malapetaka yang terjadi beruntun, seolah tak kenal henti, terus-menerus, dan silih berganti menimpa bumi dan rakyat Indonesia. Mungkin juga karena Sidoarjo memang tidak sepopuler Aceh atau Yogyakarta. Atau mungkin juga akibat diketahui sudah ada pihak yang telah ditunjuk sebagai penanggung jawab penuh atas segala akibat bencana Lusi yang, menurut pendapat para ekolog, sudah layak dinyatakan sebagai Bencana Nasional itu!

Maka, secara psikologis pihak-pihak pejuang kemanusiaan, pelestari lingkungan hidup, pembela kaum tertindas, relawan kemanusiaan, dan para sepaham lainnya merasa tidak perlu ikut campur tangan untuk repot membantu sebab sudah ada pihak yang bertanggung jawab menyatakan bersedia untuk membantu.
*********

Tiga alasan tidak peduli?

Mengenai situasi yang aneh itu, di bagian akhir tulisannya itu, Jaya Suprana memberikan tiga kemungkinan alasan untuk tidak perduli terhadap mereka yang terkena LUSI:
1) Jenuh atas rentetan peristiwa bencana
2) Sidoardjo tidak sepopuler Aceh atau Yogyakarta
3) Diketahui sudah ada pihak yang telah ditunjuk sebagai penanggung jawab penuh atas segala akibat bencana Lusi

Sekarang, mari kita lihat bagaimana kondisi kita.

Bila alasan pertama yang menjadi penyebab ketidak-perdulian kita, maka ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang lemah, dan tidak konsisten. Kita tidak mampu untuk tetap konsisten dalam menghadapi masalah yang berruntun.

Bila alasan ke-dua yang menjadi penyebabnya, maka kita sebenarnya adalah bangsa yang penuh dengan pamrih, minimal pamrih kepopuleran.

Bila alasan ke-tiga yang menjadi alasan kita untuk tidak peduli, maka kita adalah bangsa yang hidup dengan bayangan. Kita hidup dalam bayangan bahwa telah ada pihak yang bertanggungjawab terhadap masalah semburan lumpur itu, sementara kita sendiri belum tahu (secara hukum) apakah hal itu benar. Dengan kata lain, selama ini kita hidup dan bertindak berdasarkan pada dugaan yang belum tentu benar. Di sisi yang lain, keadaan seperti ini menunjukkan kekerasan hati kita yang sedemikian rupa, sehingga kita tega melihat saudara kita menderita hanya karena kita berpendapat bahwa ada pihak yang bertanggungjawab atas penderitaan itu. Hati kita telah beku. Kita telah kehilangan rasa saling tolong menolong. Atau, apakah kebencian kita kepada pihak yang bertanggungjawab telah sedemikian besar sehingga menutup rasa belas kasihan dan keinginan kita untuk menolong saudara-saudara kita yang menderita karena lumpur itu? Hanya karena bayangan?


Salam dari Ancol, 22 September 2006
Wahyu

No comments: