Thursday, August 31, 2006

REALISTIS MENGHADAPI LUMPUR PANAS SIDOARJO: 1


Gambar 1. Kondisi tanggul di Km 39 yang sedang diperbaiki setelah jebol pada hari Rabu 30 Agustus 2006. Sumber: Detikcom.

Persoalan banjir lumpur panas Sidoarjo dari hari ke hari semakin kritis dengan ancaman bahaya yang makin terus meningkat pula. Sementara semburan lumpur masih terus berlangsung, dan kita tidak tahu kapan akan berakhir, musim hujan makin mendekat. Semburan lumpur panas yang tanpa henti menyebabkan genangan lumpur yang makin tinggi. Tanggul telah dibuat, dan terus ditinggikan mengikuti tingginya permukaan genangan lumpur. Tapi kita tahu bahwa tanggul itu adalah tanggul sementara yang lemah (lihat Gambar 1), tidak memiliki pondasi yang kuat, karena hanya dibuat dari tumpukan timbunan tanah, tanpa kaki tertanam dengan kuat. Dengan kondisi yang demikian itu, tidaklah kita heran bila akhir-akhir ini makin sering terdengar kabar bahwa tanggul jebol.
Menghadapi persoalan yang makin lama semakin berbahaya itu, apa yang telah dilakukan Pemerintah? Rasanya tidak ada satu pun tindakan nyata Pemerintah untuk mengurangi bahaya lumpur itu selain dari menunggu. Menunggu lumpur itu dihentikan. Sementara itu, volume genangan lumpur dari hari hari terus bertambah, dan makin berbahaya. Sampai saat ini, praktis tidak ada kegiatan pengurangan volume lumpur yang berarti.

Berikut ini mari kita simak pendapat dari Menteri LH Rachmat Witoelar yang saya kutip langsung:

Kolam Lumpur Lapindo Bisa tampung Hingga 5 Bulan lebih
Rabu, 30 Agustus 2006 | 21:21 WIB
http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2006/08/30/brk,20060830-82971,id.html

TEMPO Interaktif, Jakarta:Menteri Negara Lingkungan Hidup, Rachmat Witoelar menegaskan pihaknya tetap melarang pembuangan lumpur Lapindo ke laut kecuali telah diolah (treatment) karena kolam penampungan masih bisa menampung lumpur hingga 5 bulan 17 hari.

“Kami tidak akan pernah mengijinkan dan sedikitpun tidak ada niat untuk itu, saya sangat keras pertahankan apapun juga agar tidak dimasukkan ke badan air” katanya sore tadi di ruang kerjanya.

Alasannya, masih tersedia 3 kolam penampungan yang cukup menampung semburan lumpur hingga 5 bulan 17 hari seluas 149 ha dengan daya tampung 8.335.605 m3 meskipun musim hujan di kolam penampungan. “Kalau cuma lumpur saja, tanpa air, bisa 2 tahun,” kata Rachmat. Seperti diketahui, semburan lumpur yang keluar 70 persen merupakan air. Konsekuensinya, harus merelokasi penduduk Desa Jatirejo. Saat ini, ketiga kolam itu telah terisi kurang lebih 4 juta m3 lumpur.

Berdasarkan rekomendasi ilmuwan, kata Rachmat, air hujan tidak akan bercampur dengan koloid lumpur, melainkan langsung mengalir sehingga tidak menambah volume pada kolam penampungan lumpur. Namun demikian, untuk meminimalkan dampak, air hujan yang “melewati” penampungan lumpur itu tetap akan diolah, meskipun diyakini air tersebut bersih tidak tercemar.

Selain itu, jika dibuang ke laut atau sungai, dapat mengancam kerusakan sektor perikanan laut dan tambak seluas 33.512,26 ha dari Sidoarjo hingga Probolinggo dan Madura serta menurunkan pendapatan 144.762 orang nelayan.

Selama kurun waktu hingga kolam penampungan penuh sekaligus persiapan jangka panjang jika semburan lumpur itu tidak bisa dihentikan, kata Rachmat, pihaknya telah meminta pembuatan water treatment plant. Agar air dan lumpur dipisahkan sehingga air dapat dibuang ke laut setelah diolah. Water treatment plant itu terdapat di utara sungai kali porong di sebelah selatan desa Besuki Kulon. “Whate ever the cost,” kata Rachmat.

Pihaknya juga akan memantau air hasil pengolahan yang akan dibuang ke laut agar betul-betul bersih dan aman serta sesuai baku mutu. Rencananya, dari pengolahan air lumpur, akan dibuat kolam akhir yang diisi dengan ikan untuk memastikan air yang akan dibuang bersih.

Deputi Bidang Pengendalian Dampak Lingkungan, Gempur Adnan menambahkan, untuk pengolahan air, rencananya akan dipercayakan ke ITS yang dapat mengolah 5000 m3 per hari. “Kalau kapasitasnya kurang, tinggal tambah, ini cuma masalah dana,” katanya. Nur Aini

Lalu, mari kita simak berita berikut:

Sumber: Media Indonesia online
Copyright © 2006 Media Indonesia Online. All rights reserved.
Rabu, 30 Agustus 2006 22:35 WIB

Lingkungan
Pemerintah Izinkan Pembuangan Lumpur Lapindo ke Laut

Penulis: Mirza Andreas

JAKARTA--MIOL: Pemerintah akhirnya menyetujui pembuangan luapan lumpur PT Lapindo Brantas ke sungai dan laut, asal terlebih dulu dinetralkan dari zat berbahaya.
Hal ini disampaikan Gubernur Jawa Timur Imam Utomo kepada wartawan di Kantor Presiden Jakarta, Rabu (30/8), usai mengikuti rapat terbatas soal penanganan luapan lumpur yang telah terjadi sejak awal Juni 2006 lalu. Rapat dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

"Presiden menginstruksikan penetralan lumpur dari bahan-bahan berbahaya jika nantinya akan dibuang ke laut atau sungai. Tapi, upaya ini belum perlu dilakukan mengingat luapan lumpur masih dapat ditampung di kolam," mantan Pangdam Brawijaya itu, mengutip pernyataan presiden.

Pengolahan lebih lanjut sebelum dibuang ke laut, untuk menghindari terjadinya dampak buruk terhadap lingkungan. Pemerintah pun tidak mau menjadi sorotan dunia internasional jika terjadi pencemaran lingkungan akibat pembuangan ke laut tersebut.
"Hasil pengolahannya bisa dibuang ke laut atau sungai. Jangan sampai ada masyarakat di luar negeri atau internasional yang menuduh ada lumpur yang dibuang ke laut tapi belum diolah. Nah ini tugas Menteri Negara Lingkungan Hidup," ujarnya lagi.
Di tempat yang sama, Bupati Sidoarjo Win Hendrarso yang juga ikut rapat itu mengatakan hasil pertemuan tadi pada prinsipnya mengijinkan pembuangan air dan lumpur yang sudah diolah.

"Pengolahan harus dilakukan. Saya sebagai pimpinan daerah menghendaki adanya suatu pengolahan dulu agar tidak membawa masalah di kemudian hari," ujarnya.
Menanggapi instruksi Presiden tersebut, Menteri Negara Lingkungan Hidup Rahmat Witoelar menyatakan pembuangan lumpur ke sungai dan laut hanya akan dilakukan jika luapan lumpur sudah meluber dari tanggul penampung.

"Di tanggul bak penampungan lumpur, dibersihkan dulu dari bahan-bahan yang membahayakan. Airnya yang sudah netral baru dibuang ke tengah laut. Saat ini belum sampai ke situ karena lumpur belum meluap dari bak tanggul penampungan, Jadi belum ada yang dibuang ke laut," kata Rahmat. (Msc/OL-02).


Apakah pendapat itu realistis? MAri kita coba menilainya

Secara sederhana kita bisa menilai:

1. Tanpa hujan saja tanggul kolam lumpur yang sekarang ini sangat mudah jebol, apalagi bila ditambah dengan serangan air hujan. Apakah tanggul itu masih cukup kuat di musim hujan? (lihat Gambar 1)

2. Sekarang sudah kira-kira 3 bulan semburan lumpur terjadi. Bila lumpur menyembur dengan debit seperti sekarang ini, maka mempertahankan lumpur di darat sampai 5 bulan ke depan berarti kita harus mempertinggi tanggul satu setengah kali dari sekarang (bila kita mempertahan kan luas genangan lumpur), atau kita memperluas genangan lumpur satu setengah kali dari luas sekarang (bila kita mempertahankan ketinggian). Dengan kondisi tanggul yang sangat lemah seperti sekarang ini, mempertinggi tanggul adalah sangat mengkhawatirkan. Sementara bila kita memperluas genangan lumpur berarti kita memperluas tampungan air hujan bila musim hujan datang. Mungkin benar kata Pak Menteri bahwa air hujan tidak akan bercampur dengan lumpur dan terus mengalir. Bila benar demikian, maka aliran air akan menyerang tanggul. Bisakah kita banyangkan bila lumpur itu meluber ke daerah sekitarnya di musim hujan nanti?

3. Ok, katakanlah bahwa tanggul dapat bertahan (tidak jebol) dan dapat menampung semua lumpur yang keluar. Bila demikian lumpur itu akan diapakan? Kata Pak Deputi Bidang Pengendalian Dampak Lingkungan, Gempur Adnan, rencananya akan mempercayakan ITS untuk mengolah 5000 m3 lumpur per hari. Apa yang akan terjadi? Bila saat ini saja kolam sudah terisi lumpur sebanyak 4 juta m3, dan bila kita asumsikan tidak ada penambahan lagi (alias semburan lumpur dapat dihentikan), maka kita membutuhkan waktu 800 hari untuk dapat mengolah semua lumpur yang sekarang ada. Artinya kita membutuhkan waktu sekiar 27 bulan (2 tahun 3 bulan) untuk mengolah habis lumpur itu. Lha, kalau semburan lumpur masih akan berjalan sampai akhir tahun ini (berarti masih harus mengumpulkan 4 juta m3 lagi), maka ini berarti kita membutuhkan waktu 4,5 tahun untuk membersihkan lumpur. Iya….., kalau lumpur itu berhenti di akhir tahun, kalau tidak juga dapat dihentikan? Makin panjanglah penderitaan penduduk yang pemukimannya sekarang tergenangi lumpur itu. Lalu, kalau mengikuti Pak Gempur Adnan, bila kapasitas kurang, tinggal tambah. Berapa banyak instalasi pengolah harus dibangun?

4. Katanya, 70% lumpur itu adalah kandungan air. Bila ada 4 juta m3 lumpur, maka bila lumpur itu berhasil dipisahkan dari air, akan diperoleh padatan sebanyak kira-kira 1 juta m3. Mau dikemanakan? Bikin Bata. Berapa banyak? Berapa lama habisnya?

5. Musim hujan akan segera tiba di bulan Oktober, sekarang 31 Agustus. Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk membangun instalasi pengolahan air yang dibayangkan itu? Seminggu? Dua minggu?, Tiga minggu? Sebulan? Sementara itu lumpur akan terus bertambah. Lalu, pertanyaannya sanggupkan kita menghadapi musim hujan nanti?

6. Benarkah ada zat-zat yang berbahaya di dalam lumpur itu? Sampai sekarang rasanya belum ada satu pun laporan hasil penelitian tentang zat-zat berbahaya apa yang ada di dalam lumpur itu. Padahal, telah tiga bulan lumpur itu menggenang di sana. Apakah kita tidur? Atau saya yang tidur sehingga tidak mengetahui informasinya? Tolong saya diberitahukan bila telah ada hasilnya.

7. Lalu, bila (air) lumpur dibuang ke laut, apakah lalu dibayangkan kita membuang air jenih ke laut? Rasanya tidak. Bila demikian, sudah siapkah kita dengan berbagai kemungkinan terburuk bila lumpur harus dibuang ke laut? Sudahkah kita mempelajari dinamika perairan Selat Madura? Sudahkan kita mempelajari pola arus di Selat Madura dengan baik?, sehingga kita dapat mengetahui kemana akan perginya lumpur itu bila dibuang ke sana dan kita dapat memperkirakan dengan baik dampaknya. Sudah kah kita mempelajari di titik mana lumpur itu di keluarkan sehingga berdampak minimal terhadap perairan pesisir? Bila semua itu belum dilakukan, sebaiknya segera lakukan. Selama ini nampaknya hanya ada perdebatan tentang boleh atau tidak membuang lumpur ke laut, tetapi kita tidak pernah berusaha mempelajari dengan seksama dampak dari berbagai alternatif pilihan.

8. Akhirnya, apakah lumpur itu harus luber dulu baru diupayakan untuk membuangnya ke laut? Apabila hal ini yang dilakukan saya hanya bisa mengatakan “pengambil keputusan tidak berpikir”.

Lalu Bagaimana? Bagaimana kalau di buang ke laut?
Kita tunggu seri ke-2 tulisan ini.

Salam dari Ancol, 31 Agustus 2006
Wahyu

Wednesday, August 16, 2006

Banjir Lumpur Porong Memasuki Masa Kritis

Banjir lumpur di Porong mulai memasuki masa kritis. Genangan lumpur tersebut dari hari ke hari makin berbahaya. Sementara itu, kita belum mengetahui sampai kapan lumpur akan terus disemburkan dari dalam Bumi. Berikut ini adalah beberapa alasan mengapa genangan lumpur itu makin berbahaya.

1. Volume genangan lumpur makin besar, dan genangan lumpur makin tinggi; sementara itu di pihak lain, tanggul makin sering jebol.

2. Dengan volume lumpur yang makin besar dan tanggul yang mulai sering jebol itu, kita menyongsong datangnya musim hujan.

3. Penduduk mulai tidak sabar. Ini tampak dari terjadinya demontrasi dan menghadangan kereta api.

4. Telah terjadi konflik horizontal sesama warga, antara yang menyutujui tanggul dijebol dan yang tidak menyetujuinya.

5. Di tengah-tengah keadaan yang semakin mendesaknya seperti di atas, pihak yang terkait dan berwenang masih belum dapat memutuskan suatu langkah yang pasti untuk menyelesaikan persoalan banjir lumpur itu.


Salam dari Ancol,

Wahyu