Wednesday, September 06, 2006

MENGAPA KITA TIDAK DUDUK BERSAMA MEMIKIRKAN PENYELESAIAN?

Sampai hari ini, agaknya pihak-pihak yang saling berbeda pendapat tentang apa yang harus dilakukan terhadap Lumpur Sidoarjo masih terus saling bersilang pendapat. Sementara Pemerintah masih tetap tampak ragu dan belum mengambil keputusan, dan penduduk mulai hilang kepercayaannya terhadap upaya menyelesaikan masalah ini, tampaknya mulai ada upaya menyelesaikan persoalan itu secara irrasional (Detik.com, Selasa, 5 September 2006).
Untuk bisa menyelesaikan masalah yang multi-dimensi ini, tidakkah baik bila kita semua duduk bersama, saling mengemukakan pendapat, saling mendengarkan, dan kemudian bersama-sama memikirkan jalan keluar yang terbaik. Kita menimbang persoalan tersebut dari berbagai sudut pandang dan kepentingan. Memikirkan dan mengambil keputusan apa yang seharusnya kita lakukan.
Dengan volume lumpur yang demikian besar dan terus menerus bertambah tanpa kepastian kapan akan berhenti, rasanya tidak ada pilihan penyelesaian yang tidak memiliki resiko atau dampak negatif. Oleh karena itu, yang perlu kita pikirkan sekarang adalah mencari alternatif penyelesaian yang paling sedikit resiko dampak negatifnya. Saya rasa semua pihak setuju dengan cara berpikir seperti ini: memilih alternatif dengan resiko negatif minimal diantara berbagai alternatif pilihan berresiko negatif. Saling bersikeras dengan pendapat masing-masing rasanya tidak akan menyelesaan persoalan, dan yang akan timbul adalah silang pendapat yang akan menambah rumit persoalan yang sebenarnya bisa disederhanakan.

Mari kita simak cuplikan berita berikut, dan kemudian berpikir apa yang sebaiknya kita lakukan. Cuplikan tersebut saya ambil dari berbagai sumber berita dan diskusi, yang selengkapnya saya tempatkan di bagian akhir. Mungkin tulisan ini jadi terlalu panjang dan membosankan, tetapi tidak apa, karena saya ingin memberikan gambaran yang terbaik akan situasi sekarang:

1). Masalah lumpur diselesaikan dengan: (a) membela kepantingan rakyat, (2) menjaga infra struktur, dan (c) lingkungan mendukung rakyat.
2). Semburan lumpur panas yang tak juga kunjung berhenti, membuat Pemkab Sidoarjo berpikir keras mencari solusi baru. Bersama dengan tim PT Lapindo Brantas Inc, Pemkab Sidoarjo akan mencari relokasi permanen warga korban lumpur panas.
3). Lapindo, katanya, diberi batas waktu sampai akhir November untuk menghentikan semburan lumpur.
4). ''Keadaan sudah darurat. Pemerintah harus tegas”.
5). Masyarakat terombang-ambing.
6). Banyak teknisi lapangan menyerah.
7). Tanggul penahan lumpur itu kini sudah setinggi 11 meter. Tanggul ini akan tak berarti apa-apa jika musim hujan tiba. Luberan lumpur yang saat ini sudah menyebar di tujuh desa dari tiga kecamatan, bakal melebar ke lebih banyak desa lagi bila tak diatasi segera.
8). Membuang lumpur panas milik PT Lapindo Brantas Inc ke laut dinilai oleh pakar pesisir dan lautan Institut Pertanian Bogor (IPB) sebagai 'kebijakan gegabah' dan malah akan menyebabkan petaka baru ekologis.
9). karena karakteristik dari laut itu berinteraksi dan bergerak dari satu tempat ke tempat lain. Sehingga, walaupun sudah memenuhi kriteria baku mutu tetap bahwa sedimennya akan berdampak pada kehidupan laut,''
10). Tetap menentang proses membuang limbah itu dibuang ke laut. Karena, akan menambah problem baru lingkungan, yang semula terjadi di darat, dan dengan gegabah kemudian akan dialihkan ke laut.
11). "Kita belum tahu arah arus karena data untuk mengetahui dinamika perairan kan masih sangat terbatas, sehingga saya tetap menyatakan menentang proses limbah itu dibuang ke laut,''
12). Pembuangan lumpur ke laut dikhawatirkan dapat menimbulkan kerugian secara sosial, ekonomi, dan lingkungan lebih besar jika dibandingan specific treatment yang dilakukan di darat. Menurutnya, solusi itu hanya akan menambah persoalan baru baik dilihat dari skala luasan daerah terkena dampak maupun dari sisi waktu penyelesaian.
13). Lumpur panas Lapindo tidak hanya terkontaminasi bahan pencemar seperti fenol, chlor, dan lainnya. Tetapi, yang lebih parah, terdapat material padatan tersuspensi (MPT). Ini merupakan partikel dengan ukuran sangat halus dan tersusun dalam jumlah cukup besar yang kemudian disebut lumpur panas.
14). Hal yang juga patut diperhatikan adalah dinamika oseanografi perairan Indonesia yang umumnya memiliki dua musim, yakni musim barat dan musim timur. Ditambah lagi musim pancaroba (paralihan) di antara perubahan kedua musim tadi.
15). Dikhawatirkan tidak hanya berdampak pada perairan sekitar Sidoarjo saja tetapi bakal terus meluas ke daerah lain sesuai musim yang berlangsung.
16). Saya yakin bencana lumpur di Sidoarjo itu gak akan menjadi MULTIDIMENSI kalau yang melakukan kecelakaan kerja pemboran sumur Banjar Panji-1 itu bukan Lapindo.
17). Persoalan menjadi Multidimensi (atau runyamnya) itu kan gak terlepas dari masalah salah seorang pemilik Lapindo yang "dibenci" banyak orang..... kalo urusan penanganan bencana dicampur dengan "dendam" bisnis, sentimen dll..... duh, kasian rakyatnya euy.... tidur bersama lumpur terus.
18). Modal dasarnya Lapindo itu berapa ya, pengeluaran untuk lumpurnya apa ya masih bisa ngatasi..... kalo secara hukum harusnya sudah pailit, lha kenapa Lapindo gak memailitkan diri saja..... resiko emang ditahan, tapi akan jelas yang akan kebakaran jenggot.
19). Perlu kehati-hatian dalam menangani hal ini karena sudah menjadi multi dimensi ketika sebuah proses bencana alam terpicu oleh proses manusia.
20). Awalnya sangat mungkin hanyalah sebuah kecelakaan industri, akhirnya "* memicu*" proses alam yg berkembang menjadi sebuah bencana. Dan akhirnya bermuara kehal-hal yang berdampak luas ke masalah sosial, ekonomi dan akhirnya politis. Curiga-mencurigai antar penduduk desa sekitar kolam-kolam penampungan ini jelas menunjukkan adanya dampak sosial yg kritis.
21). Lumpur yang keluar itu merupakan material alami bawah permukaan yg keluar dengan sendirinya (tanpa dipompa, dan tanpa "usaha" manusia untuk mengeluarkannya)
22). Aktifitas pemboran inilah yang "diduga" sebagai penyebab namun perlu diingat bahwa dugaan ini perlu pembuktian pengadilan, sehingga pembahasannya adalah pembahasan aspek hukum.
23). penghertian saya "limbah" merupakan side product dari sebuah proses produksi industri yg tidak dapat dipergunakan atau tidak memilki nilai ekonomi.
24). lumpur yg keluar ini "bukanlah tailing" dari sebuah proses pertambangan. Tidak ada penambangan apapun dari material yg keluar dari lubang keluarnya lumpur ini. Tidak ada material ekonomis yg sengaja diambil dari lumpur yg keluar ini.
25). Sesuatu yg keluar dari alam memang bisa saja bersifat polutan (pencemar), namun polutan dalam hal lumpur di Sidoarjo ini adalah polutan alami, "natural polluter". Banyak sekali proses-proses dialam dimana sebuah resources (termasuk air) yg tercemar oleh proses alam yg lain. Sehingga resources itu tidak dapat dipergunakan oleh manusia.
26). Dalam hal bencana banjir lumpur lapindo ini, kita berhadapan dengan sebuah bencana alam yg tidak diketahui kondisi teknis awal apa yang ada dan yang terukur dengan pasti. Semua parameter berada dibawah permukaan berupa parameter yg sifatnya interpretatif.
27). Karena yg keluar ini merupakan produk alami. Penanganannya semestinya sama dengan menangani proses alam yang lain, penanganan sebuah bencana alam bukan penanganan kecelakaan industri.
28). Terlepas apakah penyebab semburan ini adalah keteledoran para ahli pemboran Lapindo Brantas atau apakah pemboran yang gagal ini adalah sekedar pemicu akan terjadinya gejala ini (mungkin nantinya Pengadilan yang bisa memutuskan), yang menarik perhatian adalah gejala semburan lumpur ini yang boleh dikatakan unik di dunia.
29). Dalam mass media dikhabarkan bahwa lumpur itu mengandung zat berbahaya dan beracun, antara lain kadar Hg (air raksa) yang tinggi. Sebagai seorang ahli geologi saya heran, bagaimana lumpur yang berasal dari perut bumi bisa mengandung zat2 tersebut?
30). Jadi pendangkalan serta penambahan daratan ke arah selat Madura memang sudah terjadi secara alami. Bahkan konon Bengawan Solo juga dulunya mengalir ke Selat Madura yang sekarang disebut Kali Brantas, dan oleh Belanda dialihkan ke arah utara yang sekarang disebut Ujung Pangkah. Pada ujung ini terjadi suatu delta yang praktis dikatakan sebagai delta yang dipicu ulah manusia.
31). Mengalirkan .lumpur ke arah Selat Madura saya yakin akan terjadi proses alami dan tidak mencemari lingkungan, karena lumpur Lapindo itu material yang berasal dari endapan Selat Madura kuno, dan sekarang dikembalikan ke Selat Madura modern. Yang akan terjadi mungkin adalah percepatan dalam pendangkalan serta majunya pantai barat Selat Madura, yang tokh secara alami sedang berlangsung.
32). Dalam hal lumpur Lapindo, kita ini menghadapi zat ataun bahan bumi (earth material) yang akan dimasukan ke dalam lingkungan yang kebetulan sama juga dengan lingkungan di mana lumpur itu terbentuk.
33). Dari prinsip dasar ilmu geologi saja kita tahu bahwa lingkungan kita itu tidak pernah tetap, gejala-gejala alam yang lambat maupun yang bersifat mendadak, seperti erupsi gunung api dapat “mencemari” lingkungan, merusak biota bahkan menyebabkan kepunahan species bahkan sampai kategori kelaspun (Ingat punahnya Dinosaurus?). Dalam hal ini apakah suatu letusan gunung api di pantai yang menyemburkan abu serta lava pijar ke laut serta memusnahkan biota ditempat itu dapat dikatakan pencemaran lingkungan? Ini sering terjadi di Hawaii dan gunung api lainnya di Pasifik. Apakah letusan G. Merapi yang yang menghamburkan awan panas, abu dan gas yang beracun (saya yakin banyak gas H2S) serta mematikan kehidupan di daerah sekitarnya dianggap pencemaran lingkungan?
34). Boleh jadi saja semburan liar ini disebabkan atau dipicu oleh kelalaian pemboran pada Banjar Panji-1, namun gejalanya sendiri lebih merupakan gejala alam yang menyangkut bahan alami bukan bahan asing untuk lingkungan bumi.
35). Saya yakin dalam keadaan sekarang lumpur panas ini dapat dialirkan dengan aman dalam saluran terbuka ke Selat Madura, tidak perlu dalam pipa (yang berpotensi untuk tersumbat), bahkan dialirkan lewat K. Porong, yang konon adalah juga buatan manusia.
36). Water treatment yang diusulkan sebelum dialirkan ke laut adalah tidak masuk akal. Kalau memang harus dilakukan treatment, ya hasilnya tidak perlu dibuang kelaut, dijual saja ke PDAM atau perusahan air kemasan.
37). Mengapa masalah sederhana malah dijadikan sulit?
38). Saya usulkan supaya KLH mengkaji ulang pengertian mengenai apa yang disebut pencemaran lingkungan.
39). Sebaiknya para ilmiawan yang betul-betul mengerti mengenai proses alam seperti para ahli geologi juga dilibatkan, tetapi juga bukan para ahli geologi yang ikut hanyut dalam paranoid pencemaran lingkungan yang dewasa ini melanda masyarakat kita.
40). Rasanya kita ini diadu sama Polisi. Padahal yang tanggung jawab mestinya ya Lapindo. Kalau sampai sawah rusak, rumah kemasukan lumpur itu tanggung jawab Lapindo. Kami rasanya nggak percaya dengan omongan orang-orang lapindo itu,”


41). Meski kawasan Desa Keboguyang, masih sekitar 3 km dari lokasi titik semburan lumpur panas eksplorasi Lapindo Brantas Inc, tapi terendamnya sejumlah desa sekitarnya tak urung membuat warga ‘timur tol’ itu khawatir saat luberan lumpur mulai bergerak.
42). Prihatin nasib para korban lumpur panas eksplorasi Lapindo Brantas Incorporated, Senin (04/09) aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Kabupaten Sidoarjo, menggelar aksi. Diwarnai pembakaran boneka jerami.
43). “Hampir 100 hari luberan lumpur panas dari Lapindo Brantas itu tidak terlihat tanda-tanda bakal berhenti. Pemerintah seharusnya turun tangan menyelesaikan persoalan yang sangat menyengsarakan rakyat. Kalau tidak SBY – JK harus turun!!
44). usai melakukan pembakaran boneka itu, aktivis GMNI langsung meninggalkan lokasi. “Bikin kotor. Nambah-nambahi kerjaan saja,” ujar seorang anggota Polisi.
45). Ratusan warga yang mengamuk dan bentrok dengan polisi di Pendopo Kabupaten Sidoarjo tidak ingin nasibnya sama seperti warga desa yang sudah terendam lumpur.
46). warga di desanya hidup dalam kondisi terancam. “Desa kami adalah satu-satunya tempat tinggal kami. Sedangkan lumpur sudah tinggal 1 km lagi jaraknya dengan pemukiman warga di desa kami,”
47). lumpur dibuang saja ke Kali Porong daripada menggenangi desa mereka. Meskipun diakuinya ada upaya penanganan, tapi dinilainya itu tak cukup serius. “Bagaimana dikatakan serius? Ditangini, jebol lagi, ditinggikan, jebol lagi,”
48). Hidup dalam kondisi serba tak menentu seperti ini, papar NAWAI, warga menuntut Lapindo memberikan ketegasan apakah akan direlokasi atau bagaimana. “Sampai sekarang sama sekali belum ada sosialisasi mau diapakan warga ini. Seakan Lapindo tak peduli nasib rumah dan tanah kami. Kami tidak ingin nasib kami seperti warga Siring, jatirejo, dan Kedungbendo yang terkatung-katung seperti itu. Kami minta kejelasan,”
49). Ia juga menyayangkan sikap polisi yang disebutnya tidak melindungi masayrakat. Sebaliknya, justru memukuli rakyat. “Warga ini kondisinya panas. Lha kok dilarang ketemu pemimpinnya. Bukan hanya warga yang melempar batu, polisi pun melempari dan memukuli kita,”
50). Mereka marah karena beberaka kali minta supaya tanggul di desa mereka diperkuat dan tinggikan supaya lumpur Lapindo tidak meluber ke desa dan swah mereka, tapi dinilai mereka permintaan itu tidak mendapat tanggapan serius oleh Lapindo dan pihak terkait.
51). luberan lumpur panas mulai mendekati kawasan Desa Glagaharum, Kecamatan Porong. Buntutnya, warga mulai was-was, lumpur masuk ke pemukiman.
52). “Tanggul sudah dibuat. Malah dibagian dekat pemukiman dibuat rangkap dua. Tapi warga masih saja khawatir. Sekarang ini siskamling dilakukan lagi, untuk menjaga lingkungan termasuk memantau luberan lumpur itu, tetap saja warga masih was-was,”
53).

===========
Butir-butir pendapat di atas saya kutip dari sumber-sumber di bawah ini.

Pembuka ---------
Sumber: Radio Elshinta, Selasa, 5 September 2006, jam 11.10 WIB
Nara sumber: Meneg LH Rahmat Witoelar

Intinya ada tiga hal yang terungkap dari suara Pak Menteri, yang dapat saya dengarkan ketika sedang di dalam taksi di Jl. Jend. Sudirman, ketika menjawab pertanyaan tentang penanganan masalah Lumpur Sidoarjo itu, yaitu:
1). Membela kepentingan rakyat,
2). Menjaga infra struktur,
3). Lingkungan mendukung masyarakat.

Ke-satu -----------
Sumber: Republika Online, Selasa, 5 September 2006.
Di bawah judul berita: Sidoarjo Siapkan Relokasi Permanen
Sub-judul: Tanggul setinggi 11 meter tak berati saat hujan tiba.

SIDOARJO -- Semburan lumpur panas yang tak juga kunjung berhenti, membuat Pemkab Sidoarjo berpikir keras mencari solusi baru. Bersama dengan tim PT Lapindo Brantas Inc, Pemkab Sidoarjo akan mencari relokasi permanen warga korban lumpur panas.
Menurut Bupati Sidoardo, Win Hendrarso, tim III Satlak Kabupaten Sidoarjo ditugaskan mengidentifikasi daerah yang dapat menjadi tempat relokasi permanen tersebut. Paling cepat, harap Win, relokasi permanen itu sudah terwujud pada akhir tahun ini.
……….
Sementara saat menerima ribuan demonstran di Pendopo Kabupaten Sidoarjo, kemarin (4/9), Bupati Sidoarjo mengungkapkan hasil pertemuannya dengan Gubernur Imam Utomo dan Presiden Yudhoyono beberapa waktu lalu. Lapindo, katanya, diberi batas waktu sampai akhir November untuk menghentikan semburan lumpur.
Di Jakarta, sebanyak 20 tokoh Jatim yang dipimpin Ketua Wilayah NU Jatim, KH Ali Maschan Moesa, mendatangi Ketua DPR, Agung Laksono. Mereka mendesak pemerintah bertindak lebih cepat mengatasi luapan lumpur tersebut. Selain itu, mereka meminta pemerintah menunjuk satu pejabat setingkat menteri menangani hal ini. ''Keadaan sudah darurat. Pemerintah harus tegas”.
Sementara masyarakat terombang-ambing,'' kata Ali Maschan Moesa. Peluang menutup sumber luapan lumpur, katanya, kemungkinannya kini tinggal lima persen saja. Dengan semburan lumpur 60 ribu meter kubik per hari dan lebar pusat semburan yang sudah mencapai 150 meter, menyebabkan banyak teknisi lapangan menyerah.
Apalagi, tanggul penahan lumpur itu kini sudah setinggi 11 meter. Tanggul ini akan tak berarti apa-apa jika musim hujan tiba. Luberan lumpur yang saat ini sudah menyebar di tujuh desa dari tiga kecamatan, bakal melebar ke lebih banyak desa lagi bila tak diatasi segera.

Ke-dua --------------
Sumber: Republika Online, Selasa, 5 September 2006
Di bawah judul berita: Buang Lumpur Lapindo ke Laut Petaka Baru Ekologis

BOGOR -- Membuang lumpur panas milik PT Lapindo Brantas Inc ke laut dinilai oleh pakar pesisir dan lautan Institut Pertanian Bogor (IPB) sebagai 'kebijakan gegabah' dan malah akan menyebabkan petaka baru ekologis. Seperti diketahui, hingga kini lumpur panas tersebut belum dapat diatasi semburannya dan telah merendam rumah warga di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur (Jatim) ke laut,
''Kebijakan (lumpur Lapindo) dibuang di laut itu gegabah karena karakteristik dari laut itu berinteraksi dan bergerak dari satu tempat ke tempat lain. Sehingga, walaupun sudah memenuhi kriteria baku mutu tetap bahwa sedimennya akan berdampak pada kehidupan laut,'' kata Kepala Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor (PKSPL-IPB) Prof Tridoyo Kusumastanto, MS di Bogor, Senin.
Tridoyo mengaku tetap menentang proses membuang limbah itu dibuang ke laut. Karena, akan menambah problem baru lingkungan, yang semula terjadi di darat, dan dengan gegabah kemudian akan dialihkan ke laut.
Ia mengemukakan, kalau persoalan limbah terjadi di darat, maka itu akan berhenti di satu tempat, sedangkan kalau di laut, maka dinamika perairan akan dibawa ke berbagai wilayah. ''Padahal kita belum memiliki data memadai untuk mengetahui akan ada dampak atau tidak ke wilayah laut di sekitar Surabaya, Selat Madura atau bisa keluar dari Selat Madura. Nah, implikas inya, yang dekat ke situ kan Bali, itu kawasan wisata,'' katanya.
Ketika ditanya apakah dengan demikian, bila limbah lumpur itu dibuang ke laut bisa sampai ke kawasan perairan di pulau Bali, ia menjawab, "Kita belum tahu arah arus karena data untuk mengetahui dinamika perairan kan masih sangat terbatas, sehingga saya tetap menyatakan menentang proses limbah itu dibuang ke laut,'' kata guru besar Fakultas Ilmu Perikanan dan Kelautan IPB itu.
Sementara itu, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Chalid Muhammad, mengatakan bahwa pembuangan lumpur ke laut dikhawatirkan dapat menimbulkan kerugian secara sosial, ekonomi, dan lingkungan lebih besar jika dibandingan specific treatment yang dilakukan di darat. Menurutnya, solusi itu hanya akan menambah persoalan baru baik dilihat dari skala luasan daerah terkena dampak maupun dari sisi waktu penyelesaian.
Hal tersebut terjadi lantaran lumpur panas Lapindo tidak hanya terkontaminasi bahan pencemar seperti fenol, chlor, dan lainnya. Tetapi, yang lebih parah, terdapat material padatan tersuspensi (MPT). Ini merupakan partikel dengan ukuran sangat halus dan tersusun dalam jumlah cukup besar yang kemudian disebut lumpur panas.
Selain itu, lanjut dia, ada dua faktor yang mempengaruhi proses pengendapan lumpur secara sempurna, yakni velocity atau kecepatan aliran dan diameter ukuran butir. Semakin besar diameter ukuran butir, maka makin cepat mengalami pengendapan. ''Dalam kasus ini, pemisahan lumpur panas terhadap air sebelum dibuang ke laut tidak mungkin dilakukan dalam skala besar. Ini artinya, lumpur panas itu akan ikut mengalir ke perairan laut.''
Hal yang juga patut diperhatikan adalah dinamika oseanografi perairan Indonesia yang umumnya memiliki dua musim, yakni musim barat dan musim timur. Ditambah lagi musim pancaroba (paralihan) di antara perubahan kedua musim tadi. Dinamika oseanografi tersebut, imbuhnya, akan membuat pembatasan daerah yang terkena dampak akan sulit dilakukan. Sehingga, dikhawatirkan tidak hanya berdampak pada perairan sekitar Sidoarjo saja tetapi bakal terus meluas ke daerah lain sesuai musim yang berlangsung.ant/yus

Ke-tiga ---------
Sumber: IAGI-net, Selasa, 5 September 2006
Di bawah subjek: Kecelakaan industri yang menjadi bencana alam yg multidimensi
Pendapat dari: Ariadi Subandrio

saya yakin bencana lumpur di Sidoarjo itu gak akan menjadi MULTIDIMENSI kalau yang melakukan kecelakaan kerja pemboran sumur Banjar Panji-1 itu bukan Lapindo.
Katakanlah misalnya BP yang ngebor di Banjarpanji, kalau mereka "diperlakukan" seperti saat ini, saya yakin kedutaan besar Inggris juga akan turun tangan, atau Exxon atau Total... , persoalan menjadi Multidimensi (atau runyamnya) itu kan gak terlepas dari masalah salahseorang pemilik Lapindo yang "dibenci" banyak orang..... kalo urusan penanganan bencana dicampur dengan "dendam" bisnis, sentimen dll..... duh, kasian rakyatnya euy.... tidur bersama lumpur terus.

Modal dasarnya Lapindo itu berapa ya, pengeluaran untuk lumpurnya apa ya masih bisa ngatasi..... kalo secara hukum harusnya sudah pailit, lha kenapa Lapindo gak memailitkan diri saja..... resiko emang ditahan, tapi akan jelas yang akan kebakaran jenggot.

lam-salam,
ar-.

Ke-empat -------------
Sumber: IAGI.net, Selasa, 5 September 2006
Di bawah subjek: Kecelakaan industri yang menjadi bencana alam yg multidimensi
Pendapat dari: Rovicky Dwi Putrohari

*Salah seorang teman netter menanyakan pendapat saya tentang penanganan
lumpur ini.*

Perlu kehati-hatian dalam menangani hal ini karena sudah menjadi multi dimensi ketika sebuah proses bencana alam terpicu oleh proses manusia. Awalnya sangat mungkin hanyalah sebuah kecelakaan industri, akhirnya "* memicu*" proses alam yg berkembang menjadi sebuah bencana. Dan akhirnya bermuara kehal-hal yang berdampak luas ke masalah sosial, ekonomi dan akhirnya politis. Curiga-mencurigai antar penduduk desa sekitar kolam-kolam penampungan ini jelas menunjukkan adanya dampak sosial yg kritis. Ketika sudah berkembang menjadi wacana politis, lagi-lagi diluar kompetensi saya sebagai seorang "*natural scientist*".

[image: More...]
Seperti yg saya uraikan dalam tulisan-tulisan saya di webblog "*dongeng geologi*" (http://rovicky.wordpress.com ) dimana saya lebih berkonsentrasi dengan apa yg terjadi dan bagaimana bisa terjadi proses keluarnya lumpur dari perut bumi. Awalnya kejadian ini hanyalah sebuah niatan untuk menambah pasokan energi Indonesia. Niatan ini tentunya terpicu oleh "niat ekonomis", mencari untung. Proses awal inilah yg mungkin sekali menjadikan kejadian bencana banjir lumpur. Sesuai dengan kompetensi saya, maka saya hanya membatasi proses alami yng terjadi.

*Lumpur Lapindo "bukan limbah" dan juga "bukan tailing".*

**
Lumpur yang keluar itu merupakan material alami bawah permukaan yg keluar dengan sendirinya (tanpa dipompa, dan tanpa "usaha" manusia untuk mengeluarkannya). Lumpur yg keluar ini bisa dan mungkin saja keluar akibat terpicu oleh aktifitas pengeboran. Aktifitas pemboran inilah yang "diduga" sebagai penyebab namun perlu diingat bahwa dugaan ini perlu pembuktian pengadilan, sehingga pembahasannya adalah pembahasan aspek hukum yg diluar kompetensi saya.

Menurut penghertian saya "limbah" merupakan side product dari sebuah proses produksi industri yg tidak dapat dipergunakan atau tidak memilki nilai ekonomi. Perlu diketahui juga bahwa lumpur yg keluar ini "bukanlah tailing" dari sebuah proses pertambangan. Tidak ada penambangan apapun dari material yg keluar dari lubang keluarnya lumpur ini. Tidak ada material ekonomis yg sengaja diambil dari lumpur yg keluar ini. Tailing merupakan material ikutan dalam sebuah proses penambangan. Karena bahan tambang memilki konsentrasi rendah maka proses pengambilan bahan tambang ini menghasilkan material bumi yg suangat banyak yg tidak dipergunakan dan disebut "tailing". Sekali lagi lumpur yg keluar ini bukanlah "tailing"

Sesuatu yg keluar dari alam memang bisa saja bersifat polutan (pencemar), namun polutan dalam hal lumpur di Sidoarjo ini adalah polutan alami, "natural polluter". Banyak sekali proses-proses dialam dimana sebuah resources (termasuk air) yg tercemar oleh proses alam yg lain. Sehingga resources itu tidak dapat dipergunakan oleh manusia.

*Munculnya issue merkuri (Hg)*

Hingga saat ini hanya berita dari Tempo yang saya baca mengenai adanya
pencemaran bahwa " hasil analisa Lily Pudjiastuti (ITS) tentang kandungan merkuri (Hg) yang didapati 2.565 mg/liter Hg (limit 0.002 mg/liter)" dikutip Koran Tempo. Kalau bener ada kandungan sebesar itu berarti lokasi lumpur yg sekarang ada disebut sebagai TAMBANG MERKURI. Coba dihitung saja, kalau debtnya 50 000 meter kubik sehari, berapa kg merkuri yg dihasilkan perhari ?

Kalau yang dimaksud 2,565 mg/liter itu adalah 2.565 gr/liter (karena ambangnya adalah 0.002 mg/l, masalah pengertian . dan , apakah . dalam bahasa Inggris yang sama dengan , dalam bahasa Indonesia) saya akan mengatakan kepada ibu Lily bahwa beliau telah menemukan sumberdaya baru dalam lumpur: "bijih air raksa (Hg)". Secara guyonan dalam diskusi di Ikatan Ahli Geologi Indonesia ada pameo "wah kita dapat tambang air raksa dalam semburan lumpur " [image: )] .

Mengapa guyonan ini muncul ? Karena menurut buku Exploration and Mining Geology dari Peters (1978): kadar bijih mercury adalah antara 0.2% sampai 8%. Bahkan kalau benar angka yg disitir oleh tempo tersebut maka bijih Hg ini memprosesnya tidak sulit, sudah keluar sendiri, tidak perlu crusher dan sebagainya tinggal diolah atau disaring saja. Tapi inget tentu lain kalau yang dimaksud adalah 2.565 mg/liter (dua koma lima enam lima). Beda seper seribu dari angka yg dimaksud dalam eksplorasi mineral bijih.

Yang saya khawatirkan issue tersebut menjadi "*membusang*" dan "*membuyat*". Sehingga perlu penelitian ulang unsur-unsur kimia fisika dari material yg keluar dari lubang (sedekat mungkin dengan lubang). Penelitiannya terbuka hasil maupun metodenya termasuk juga penelitian rona awal dari daerah sepanjang sungai Porong. Semua data penelitian ini penting untuk proses pembelajaran bersama. Yang nantinya potensial menjadi konflik adalah, akan muncul ketika *siapa *yang dianggap independen sebagai peneliti kandungan lumpur ini.

*Penanganan banjir lumpur*

Bencana banjir lumpur ini berbeda dengan bencana pencemaran tumpahan minyak Exxon dengan muntahnya minyak dari kapal tanker Exxon-Valdez pada tahun 1989 dan juga berbeda dengan bencana industri PLTN Chernobyl. Kedua bencana terakhir ini juga sama-sama dipicu oleh kegiatan manusia, namun jumlah bahan polutan, serta semua parameter teknis awalnya sangat "terukur". Kita tahu jumlah minyak mentah yg tumpah sebanyak 11 juta gallon, kita tahu secara teknis berapa bobot mati serta konfigurasi dari kapal Exxon-Valdez.
Demikian juga dengan parameter-parameter awal dari Chernobyl, kita tahu jumlah bahan-bakar nuklir yang ada, kita tahu konstruksi bangunan PLTN ini.

Dalam hal bencana banjir lumpur lapindo ini, kita berhadapan dengan sebuah bencana alam yg tidak diketahui kondisi teknis awal apa yang ada dan yang terukur dengan pasti. Semua parameter berada dibawah permukaan berupa parameter yg sifatnya interpretatif. Kesamaannya hanyalah, efek serta dampak lingkungannya menjadi mencengangkan ketika kita tidak mampu mendeteksi apa yg bakal terjadi selanjutnya.Exxon-Valdez maupun Chernobyl menjadi sebuah kecelakaan yg tidak mampu ditangani oleh manusia, demikian juga keluarnya lumpur dari perut bumi ini.Kedua contoh kecelakaan diatas menjadi sebuah bencana mirip seperti bencana banjir lumpur ini ketika tidak dapat dikontrol lagi, dan banyak pula yang menyetarakan tingkat kebencanaannya (uncontrolled).

Karena yg keluar ini merupakan produk alami. Penanganannya semestinya sama dengan menangani proses alam yang lain, penanganan sebuah bencana alam bukan penanganan kecelakaan industri. Secara mental kita harus berpikir bahwa banjir lumpur ini sudah merupakan *bencana *bukan lagi saatnya berpikir sebagai kecelakaan kerja atau kecelakaan industri lagi. Namun sekali lagi saya tidak mau menyentuh aspek hukum maupun politis, karena kompetensi saya bukan disitu.

Salam
*Rovicky Dwi Putrohari*
http://rovicky.wordpress.com

Ke-lima ------------
Sumber: *Rovicky Dwi Putrohari* http://rovicky.wordpress.com
Pendapat dari: Prof. Dr. R. Koesoemadinata
MASALAH PEMBUANGAN LUMPUR LAPINDO BRANTAS KE LAUT
KLH harus Menkaji Ulang Pengertian Pencemaran Lingkungan.

Oleh
Prof. Dr. R. Koesoemadinata
Mantan Guru Besar Ilmu Geologi ITB
Indonesia belakangan ini dirundung bencana, bencana alam maupun bencana yang dipicu oleh kelakuan manusia dalam usahanya untuk memodernisasikan negara Indonesia. Gejala bencana ini tidak ada yang sangat menarik perhatian adalah munculnya semburan lumpur panas di Sidoardjo yang boleh jadi dipicu dengan kegagalan pemboran explorasi sumur Banjar Panji oleh PT Lapindo Brantas dalam usaha pencaharian minyak dan gas bumi di daerah . Tentu hal ini dilakukan dalam rangka penambahan cadangan dan produksi minyak dan gas bumi Indonesia yang belakangan ini melorot, demi pertumbuhan ekonomi yang sehat, selain tentunya untuk mencari keuntungan yang besar bagi para pemilik saham perusahaan tersebut.
Terlepas apakah penyebab semburan ini adalah keteledoran para ahli pemboran Lapindo Brantas atau apakah pemboran yang gagal ini adalah sekedar pemicu akan terjadinya gejala ini (mungkin nantinya Pengadilan yang bisa memutuskan), yang menarik perhatian adalah gejala semburan lumpur ini yang boleh dikatakan unik di dunia. Yang jadi masalah adalah jumlah cairan yang konon terdiri dari 70% air dan 30 zat padat yang membanjiri daerah Sidoarjo dan mengancam pemukiman serta melumpuhkan perekonomian, khususnya industri dan transportasi di daerah sekitarnya. Jika pencemaran lingkungan tidak jadi masalah penyelesaiannya sederhana saja, alirkan lumpur panas yang tokh akhirnya akan mendingin juga ke laut, ke Selat Madura, dari mana lumpur itu berasal.
Dalam mass media dikhabarkan bahwa lumpur itu mengandung zat berbahaya dan beracun, antara lain kadar Hg (air raksa) yang tinggi. Sebagai seorang ahli geologi saya heran, bagaimana lumpur yang berasal dari perut bumi bisa mengandung zat2 tersebut? Rekan saya dari Tim Independent Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) yang telah mengambil contoh lumpur langsung dari lokasi semburan memberitakan bahwa hasil analisa kimia serta analisa lainnya tidak meununjukan kehadliran Hg atau logam berat lainnya (paling tidak semuanya jauh dibawah 0.10 mg/liter). Hasil analisa mikropaleontologi menunjukkan bahwa lumpur itu mengandung fosil foraminifera (cangkang zat renik bersel satu) yang dahulu hidup di lingkungan laut yang sama dengan di Selat Madura. Sejak dahulu para ahli geologi Belanda seperti Van Bemmelen (1949) menyatakan bahwa beberapa ratus ribu bahkan lebih 1 juta tahun (zaman Pleistocene) Selat Madura itu menjorok jauh ke barat hampir sampai kota Semarang. Sungai-sungai seperti Bengawan Solo dan lain-lain bermuara di selat Madura purba ini dan mengendapkan sedimen seperti pasir dan lumpur sebagai delta pada pantainya yang berangsur-angsur terjadi pendangkalan dan daratan pun bertambah ke arah pantai Selat Madura dekat Sidoarjo. Jadi pendangkalan serta penambahan daratan ke arah selat Madura memang sudah terjadi secara alami. Bahkan konon Bengawan Solo juga dulunya mengalir ke Selat Madura yang sekarang disebut Kali Brantas, dan oleh Belanda dialihkan ke arah utara yang sekarang disebut Ujung Pangkah. Pada ujung ini terjadi suatu delta yang praktis dikatakan sebagai delta yang dipicu ulah manusia.
Jadi sebetulnya dengan mengalirkan .lumpur ke arah Selat Madura saya yakin akan terjadi proses alami dan tidak mencemari lingkungan, karena lumpur Lapindo itu material yang berasal dari endapan Selat Madura kuno, dan sekarang dikembalikan ke Selat Madura modern. Yang akan terjadi mungkin adalah percepatan dalam pendangkalan serta majunya pantai barat Selat Madura, yang tokh secara alami sedang berlangsung.
Dalam hal ini tentu yang jadi masalah adalah Contoh-contoh seperti Chernobyl, Peledakan Pabrik Kimia di India, tumpahnya minyak dari tanker Exxon Valdez dst, itu betul-betul dapat dinyatakan sebagai pencemaran lingkungan yang berat. Tetapi dalam hal lumpur Lapindo, kita ini menghadapi zat ataun bahan bumi (earth material) yang akan dimasukan ke dalam lingkungan yang kebetulan sama juga dengan lingkungan di mana lumpur itu terbentuk. Kekhawatiran akan rusaknya biota dsb adalah sangat berlebihan dan boleh dikatakan merupakan paranoid yang sedang melanda kita semua, khususnya para ahli lingkungan. Dari prinsip dasar ilmu geologi saja kita tahu bahwa lingkungan kita itu tidak pernah tetap, gejala-gejala alam yang lambat maupun yang bersifat mendadak, seperti erupsi gunung api dapat “mencemari” lingkungan, merusak biota bahkan menyebabkan kepunahan species bahkan sampai kategori kelaspun (Ingat punahnya Dinosaurus?). Dalam hal ini apakah suatu letusan gunung api di pantai yang menyemburkan abu serta lava pijar ke laut serta memusnahkan biota ditempat itu dapat dikatakan pencemaran lingkungan? Ini sering terjadi di Hawaii dan gunung api lainnya di Pasifik. Apakah letusan G. Merapi yang yang menghamburkan awan panas, abu dan gas yang beracun (saya yakin banyak gas H2S) serta mematikan kehidupan di daerah sekitarnya dianggap pencemaran lingkungan? Gunung-gunung api yang tidurpun seperti G. Tangkuban Perahu di utara Bandung dan banyak lagi di seluruh Indonesia, bahkan di dunia setiap harinya menghamburkan belerang murni dalam bentuk gas maupun gas H2S entah berapa ribu ton ke atmosfer. Tetapi tidak ada ahli lingkungan yang peduli serta mempermasalahkan “acid rain” yang ditimbulkan. Pada waktu G. Krakatau meletus dengan dahsyatnya pada tahun 1883 seluruh biota di lereng gunung itu hancur dan memusnahkan kehidupan. Namun hanya dalam beberapa puluh tahun saja kehidupan sudah pulih kembali, karena kekenyalan (resilience) dari alam itu sendiri untuk mengembalikan keseimbangan lingkungan.
Dalam hal semburan lumpur Lapindo ini memang merupakan gejala unik. Boleh jadi saja semburan liar ini disebabkan atau dipicu oleh kelalaian pemboran pada Banjar Panji-1, namun gejalanya sendiri lebih merupakan gejala alam yang menyangkut bahan alami bukan bahan asing untuk lingkungan bumi. Banyak para ahli geologi yang menganalogikan semburan lumpur ini dengan gejala alam yang disebut “mud-volcano” yang banyak tersebar di Indonesia (khusunya di Indonesia Timur dikenal dengan istilah poton), bahkan di Jawa Timur Utara pun banyak diketemukan, seperti Bleduk Kuwu dekat Purwodai, G. Anyar dekat Surabaya bahkan di selatan K Porong, yang di masa lalu menyemburkan lumpur tetapi sekarang sudah mati. Tentu pada waktu itu lumpur itu mengalir dengan sendirinya dan berakhir di laut dan ini merupakah gejala alamiah saja. Mungkin pada waktu itu belum ada KLH atau LSM-LSM lingkungan, bahkan manusiapun pada waktu itu belum ada untuk memprotes pencemaran lingkungan.
Dalam hal semburan lumpur di Sidoarjo, seandainya tidak ada bangunan seperti jalan, perumahan, pabrik dsb, maka secara alamiah lumpur it akhirnya akan mengalir ke laut (Selat Madura) juga. Saya yakin dalam keadaan sekarang lumpur panas ini dapat dialirkan dengan aman dalam saluran terbuka ke Selat Madura, tidak perlu dalam pipa (yang berpotensi untuk tersumbat), bahkan dialirkan lewat K. Porong, yang konon adalah juga buatan manusia. Saya kira air sungai dan air tanah di sekitar Sidoarjo itu sudah lebih tercemar oleh limbah industri daripada lumpur dari semburan yang masih murni. Water treatment yang diusulkan sebelum dialirkan ke laut adalah tidak masuk akal. Kalau memang harus dilakukan treatment, ya hasilnya tidak perlu dibuang kelaut, dijual saja ke PDAM atau perusahan air kemasan.
Jadi sebetulnya mengapa masalah sederhana malah dijadikan sulit? Mungkin terpengaruh iklan rokok tertentu. Tentu banyak orang berprasangka adanya oknum-oknum tertentu yang mencari keuntungan dalam kesempitan.
Sebagai penutup saya usulkan supaya KLH mengkaji ulang pengertian mengenai apa yang disebut pencemaran lingkungan. Sebaiknya para ilmiawan yang betul-betul mengerti mengenai proses alam seperti para ahli geologi juga dilibatkan, tetapi juga bukan para ahli geologi yang ikut hanyut dalam paranoid pencemaran lingkungan yang dewasa ini melanda masyarakat kita.

Ke-enam ---------
Sumber: suarasurabaya.net, 05 September 2006, 16:20:15, Laporan J. Totok Sumarno

Pasca Bentrok, Warga ‘Timur Tol’ Tak Percaya Lapindo

ssnet| Pasca bentrok dengan petugas Dalmas Polisi pada aksi di depan pendopo Kabupaten Sidoarjo, Senin (04/09) kemarin, sejumlah warga masyarakat ‘Timur Tol’ mengaku tak percaya dengan Lapindo Brantas.

“Buktinya mana? Reno Kenongo akhirnya ya tenggelam. Tanyakan saja sama warganya yang sekarang ngungsi di pasar sana. Setelah demo kemarin, kita kepruk-keprukan sama Polisi, jangan harap Lapindo bisa seenaknya di desa kami,” tutur AHMAD QOTIM warga Desa Keboguyang, Kecamatan Jabon, Selasa (05/09).

Ditemui suarasurabaya.net, di ujung Desa Permisan tak jauh dari areal pemasangan pipa Lapindo Brantas Incorporated ditepi tanggul Kali Porong, AHMAD QOTIM bersama sekitar sepuluh orang warga desa lainnya kembali bercerita tentang aksi baku pukul lawan Polisi, Senin (04/09) kemarin.

“Percuma. Rasanya kita ini diadu sama Polisi. Padahal yang tanggung jawab mestinya ya Lapindo. Kalau sampai sawah rusak, rumah kemasukan lumpur itu tanggung jawab Lapindo. Kami rasanya nggak percaya dengan omongan orang-orang lapindo itu,” lanjut AHMAD QOTIM.

Meski kawasan Desa Keboguyang, masih sekitar 3 km dari lokasi titik semburan lumpur panas eksplorasi Lapindo Brantas Inc, tapi terendamnya sejumlah desa sekitarnya tak urung membuat warga ‘timur tol’ itu khawatir saat luberan lumpur mulai bergerak.

“Jangan sampai kami ini meninggalkan desa, dengan sia-sia. Ini tanah kelahiran kami. Kami nggak rela tanah kelahiran kami jadi danau lumpur. Ini tanah kelahiran kami turun temurun,” ujar ASNAWI yang mengaku warga Desa Permisan, kawasan paling timur tol Porong - Gempol, Selasa (05/09).

Kawasan tepi kali Porong atau biasa disebut kawasan ‘timur tol’, seperti diberitakan sebelumnya menolak pemasangan pipa diesel penyedot air sungai oleh Lapindo Brantas. Aksi Jumat (01/09) itu diwarnai pembakaran tenda petugas. Sedangkan Senin (04/09), aksi berlanjut didepan pendopo Kabupaten Sidoarjo, berbuntut bentrok lawan Polisi.

Ke-tujuh -----------
Sumber: suarasurabaya.net, 04 September 2006, 17:50:54, Laporan J. Totok Sumarno

Prihatin Nasib Korban Lumpur, GMNI Bakar Boneka

ssnet| Prihatin nasib para korban lumpur panas eksplorasi Lapindo Brantas Incorporated, Senin (04/09) aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Kabupaten Sidoarjo, menggelar aksi. Diwarnai pembakaran boneka jerami.

Aksi yang digelar didepan pendopo Kabupaten Sidoarjo itu, hanya berlangsung beberapa saat saja, usai ribuan warga Kecamatan Jabon menggelar aksi.

“Hampir 100 hari luberan lumpur panas dari Lapindo Brantas itu tidak terlihat tanda-tanda bakal berhenti. Pemerintah seharusnya turun tangan menyelesaikan persoalan yang sangat menyengsarakan rakyat. Kalau tidak SBY – JK harus turun!!” teriak satu diantara orator.

Pada aksinya, Senin (04/09) didepan pendopo Kabupaten Sidoarjo tersebut, DPC GMNI Kabupaten Sidoarjo menuntut, diantaranya, pihak Lapindo Brantas segera menyerahkan aset yang dimiliki kepada Pemerintah.

“Secepatnya Lapindo Brantas mengganti kerugian materi atau non materi kepada para korban. Selanjutnya Pemerintah harus mengusut tuntas peristiwa ini, sepertinya ada unsur kesengajaan dari manajemen Lapindo sendiri,” ujar UKI mewakili aktivis GMNI yang berunjuk rasa, Senin (04/09).

Dibawah pengamanan sejumlah anggota Polisi dan Satpol PP Pemkab Sidoarjo, aksi GMNI dipungkasi dengan membakar sebuah boneka seukuran manusia yang terbuat dari jerami. Sayangnya, usai melakukan pembakaran boneka itu, aktivis GMNI langsung meninggalkan lokasi. “Bikin kotor. Nambah-nambahi kerjaan saja,” ujar seorang anggota Polisi sambil menyiramkan sebotol air kemasan.

Ke-delapan ---------
Sumber: suarasurabaya.net, 04 September 2006, 10:07:37, Laporan Eddy Prasetyo

Marah, Tak Mau Desanya Terendam Lumpur

ssnet| Ratusan warga yang mengamuk dan bentrok dengan polisi di Pendopo Kabupaten Sidoarjo tidak ingin nasibnya sama seperti warga desa yang sudah terendam lumpur. Hal ini ditegaskan NAWAIN satu diantara perwakilan warga Desa Permisan yang dijadwalkan bertemu dengan Ketua Satlak dan Bupati Sidoarjo, Senin (04/09).

Pada MARTHA reporter Suara Surabaya, NAWAIN mengatakan saat ini warga di desanya hidup dalam kondisi terancam. “Desa kami adalah satu-satunya tempat tinggal kami. Sedangkan lumpur sudah tinggal 1 km lagi jaraknya dengan pemukiman warga di desa kami,” kata NAWAIN.

Warga, tegas NAWAIN, meminta lumpur dibuang saja ke Kali Porong daripada menggenangi desa mereka. Meskipun diakuinya ada upaya penanganan, tapi dinilainya itu tak cukup serius. “Bagaimana dikatakan serius? Ditangini, jebol lagi, ditinggikan, jebol lagi,” imbuhnya.

Hidup dalam kondisi serba tak menentu seperti ini, papar NAWAI, warga menuntut Lapindo memebrikan ketegasan apakah akan direlokasi atau bagaimana. “Sampai sekarang sama sekali belum ada sosialisasi mau diapakan warga ini. Seakan Lapindo tak peduli nasib rumah dan tanah kami. Kami tidak ingin nasib kami seperti warga Siring, jatirejo, dan Kedungbendo yang terkatung-katung seperti itu. Kami minta kejelasan,” tegasnya lagi.

Ia juga menyayangkan sikap polisi yang disebutnya tidak melindungi masayrakat. Sebaliknya, justru memukuli rakyat. “Warga ini kondisinya panas. Lha kok dilarang ketemu pemimpinnya. Bukan hanya warga yang melempar batu, polisi pun melempari dan memukuli kita,” ujarnya. Akibat bentrokan itu, sejumlah warga, kata NAWAIN mengalami luka-luka.

Sedikitnya 600 warga dari Desa Permisan dan ratusan lainnya dari 3 desa lain masing-masing Glagaharum, Plumbon, dan Keboguyang mendatangi Pendopo Kabupaten Sidoarjo diangkut sedikitnya 26 truk.

Ke-sembilan ---------
Sumber: suarasurabaya.net, 04 September 2006, 09:51:15, Laporan Iping Supingah

Unjukrasa Soal Lumpur
Warga Jabon Bentrok di Pendopo Kabupaten Sidoarjo


ssnet| Warga dari Glagaharum, Keboguyang, Plumbon, Permisan dan bebeberapa desa dari Kecamatan Jabon, Sidoarjo terlibat bentrok dalam unjuk rasa di Pendopo Kabupaten Sidoarjo.

Dilaporkan MARTHA reporter Suara Surabaya, ribuan warga yang datang dengan puluhan truk ini emosi dan marah ketika tahu polisi menutup pintu gerbang pendopo.

Kondisi memanas, pengunjuk rasa pun akhirnya melempar batu, sandal, dan memukul dengan kayu ke arah polisi yang berjaga di sana.

Ada sebagian warga dan petugas polisi yang meredam supaya tidak melempar sesuatu ke polisi. Tapi mereka tetap nekat bahkan sudah 3 kali aksi lempar batu dan saling pukul ini terjadi saat unjukrasa di Pendopo Kabupaten Sidoarjo pada Senin (04/09) hari ini.

Sebelumnya warga Kecamatan Jabon ini datang ke pendopo sudah melengkapi dirinya dengan kayu-kayu, juga mengambil batu di sekitaran pendopo. Mereka marah karena beberaka kali minta supaya tanggul di desa mereka diperkuat dan tinggikan supaya lumpur Lapindo tidak meluber ke desa dan swah mereka, tapi dinilai mereka permintaan itu tidak mendapat tanggapan serius oleh Lapindo dan pihak terkait.

Pengamanan polisi dilaporkan reporter MARTHA tidak seimbang dengan jumlah warga yang berunjukrasa.

Selain warga Jabon, direncanakan sekitar pukul 10.00 nanti ratusan buruh juga akan demo menuntut uang gaji dan relokasi pabrik akibat terendam lumpur Lapindo Brantas Incoroporated yang menyembur di Porong Sidoarjo.


Ke-sebelas -----------
Sumber:suarasurabaya.net,02 September 2006, 16:35:25, Laporan J. Totok Sumarno

Lumpur Mendekat, Warga Desa Glagaharum Mulai Was-was

ssnet| Luberan lumpur panas Lapindo Brantas Incorporated, makin meluas. Sabtu (02/09) luberan lumpur panas mulai mendekati kawasan Desa Glagaharum, Kecamatan Porong. Buntutnya, warga mulai was-was, lumpur masuk ke pemukiman.

Setelah jebolnya tanggul di dekat KM 39 ruas jalan tol, lumpur panas akhirnya meluber kebeberapa kawasan pemukiman warga masyarakat disisi timur pusat semburan lumpur. Bahkan sampai Sabtu (02/09) rembesan lumpur panas masih terus mengalir, meski tidak sederas dua hari sebelumnya.

“Tanggul sudah dibuat. Malah dibagian dekat pemukiman dibuat rangkap dua. Tapi warga masih saja khawatir. Sekarang ini siskamling dilakukan lagi, untuk menjaga lingkungan termasuk memantau luberan lumpur itu, tetap saja warga masih was-was,” ungkap AHMAD QODHIM warga RT 2 RW 1 Dusun Risen, Desa Glagaharum, Sabtu (02/09).

Kecemasan warga yang pemukimannya mulai ‘didekati’ lumpur panas, wajar terjadi. Mengingat apa yang sudah terjadi pada beberapa desa lainnya disekitar semburan lumpur panas Lapindo Brantas Incorporated, yang kini sudah tenggelam itu.

“Mau nggak mau ya harus keluar dari rumah. Kalau lumpur sudah masuk dan tambah tinggi, mau apa lagi? Paling-paling ngringkesi barang-barang yang masih bisa dibawa, soro Mas” ujar KUSNAN warga RT 4 RW 1 Risen, Glagaharum pada suarasurabaya.net, Sabtu (02/09).

Lumpur memang masih berjarak sekitar 50 meter dari pemukiman terdekat warga Desa Glagaharum, tapi warga memang sudah terlihat was-was. Mereka diantaranya ada yang sudah mencoba membuat tanggul-tanggul darurat didepan rumah masing-masing.

=======

Salam dari Ancol, 6 September 2006
Wahyu

No comments: