Friday, September 08, 2006

Bila Lumpur Dibuang Ke Laut: siapa dan mengapa menentangnya?

Secara substansial, benar bahwa lumpur bukan polutan. Bila tidak mengandung bahan-bahan yang berbahaya dan beracun, lumpur tidak berbahaya. Bila jumlahnya sedikit, lumpur juga tidak menjadi masalah.
Yang menjadi persoalan sekarang adalah volume lumpur itu sangat besar dan terus bertambah dan kita tidak tahu kapan akan berhenti penambahannya itu. Dan, yang sangat dikhawatirkan adalah bila musim hujan tiba. Tanggul jebol. Daerah genangan bertambah luas.
Lumpur dipandang sebagai bahan galian? Benar, dan itu nampaknya telah dilakukan tanpa sadar ketika ada upaya membuat batu bata dari lumpur itu. Tetapi, masalahnya kembali pada berapa cepat kita sanggup menghabiskan lumpur itu? Bagaimana dengan kawasan yang digenanginya? Dan, kembali, bagaimana bila musim hujan tiba?

Lalu? Bila lumpur tidak berbahaya, bukan polutan, bagaimana bila dibuang ka laut?

Bila lumpur dibuang ke laut dalam jumlah sedikit. Tidak jadi masalah. Tetapi bila jumlahnya sangat banyak, ini baru masalah. Apa masalahnya?

Bila lumpur dalam jumlah besar masuk ke laut, maka akan terjadi dua hal: kekeruhan yang tinggi di kolom air, dan sedimentasi yang tinggi di dasar perairan. Kedua hal tersebut adalah hal yang sangat penting untuk diperhatikan, karena penting bagi kehidupan organisme di laut.

Setiap organisme laut membutuhkan sinar matahari, terutama tumbuhan dan plankton. Bila air menjadi sangat keruh, maka penetrasi cahaya akan terganggu. Hal itu dapat menyebabkan kerusakan ekosistem. Bagi organisme seperti ikan, kekeruhan yang tinggi sangat mengganggu. Ingsangnya bisa rusak fungsinya, terganggu oleh lumpur yang disaringnya. Demikian pula dengan sedimentasi yang tinggi, akan menyebabkan perubahan ekosistem melalui gangguan terhadap organisme bentonik. Koral yang tertutup oleh endapan lumpur atau terkena air yang sangat keruh dalam waktu lama bisa mati. Keadaan seperti itulah yang sangat tidak dikehendaki oleh para nelayan maupun pecinta lingkungan laut.
Berbagai aktifitas perikanan yang dapat terganggu oleh kondisi itu adalah (1) perikanan tambak, karena membutuhkan air yang tidak tinggi kekeruhannya untuk mengairi tambak, (2) perikanan budidaya di perairan, karena bila air terlalu keruh, biota yang dipelihara akan stress dan bisa mati, dan (3) perikanan tangkap, karena ikan akan menghilang dari daerah penangkapan ikan.

Kabarnya, kegiatan perikanan tambak merupakan kegiatan sektoral yang sangat penting di kawasan pesisir Sidoarjo (Kata teman saya, saya sendiri tidak punya infonya). Oleh karena itu wajar bila para petani tambak dan pihak-pihak lain yang ekonominya terancam akan menentang pilihan pembuangan lumpur ke laut.

Bagi pecinta lingkungan, mereka tentu juga akan ribut sekali bila ekosistem terganggu. Hal ini terutama disuarakan oleh LSM.

Untuk mengetahui seberapa besar kerugian yang akan timbul bila lumpur dibuang ke laut, kita perlu mengetahui ke mana lumpur itu akan pergi setelah mencapai laut, dan kegiatan perikanan apa saja yang akan terkena lumpur itu. Untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan itu, kita perlu mempelajari pola arus sepanjang tahun di perairan itu, dan memetakan ekosistem pantai dan berbagai kegiatan sektoral yang ada di kawasan itu.

Menurut hemat saya, pola arus sepanjang tahun adalah tetap. Dengan demikian, kawasan-kawasan yang akan terkena lumpur juga tetap luasannya. Karena, setelah menemukan jalannya, muatan lumpur itu hanya akan melalui jalan itu saja, dan tidak akan meleset jauh ke daerah-daerah lain. Terkait dengan hal ini, studi model dinamika perairan Selat Madura menjadi sangat penting.

Persoalan yang paling sulit dijawab, kembali pada masalah, berapa lama lumpur itu akan terus mengalir? 1 tahun, 2 tahun, 5 tahun, atau 25 tahun? Atau 100 tahun? Terkait dengan lamanya pemasukan lumur ini adalah masalah pemberian kompensasi kepada pihak-pihak yang dirugikan.

Salam dari Ancol, 8 September 2006
Wahyu
*Saat gerhana bulan

No comments: