Monday, February 26, 2007

Menanti Perundingan Lumpur Sidoarjo

Setelah pemblokiran jalan tol dan rel kereta api dibubarkan polisi, pada Sabtu 24 Febuari 2006 sore dikabarkan oleh SuaraSurabaya.net bahwa warga Perum TAS I akan berunding membahas bantuan dari Lembaga bantuan Hukum (LBH) Surabaya yang menyatakan bersedia akan melakukan pendampingan terhadap korban luapan lumpur Lapindo warga TAS untuk upaya litigasi. AGUSTINUS diantara tim perunding warga korban lumpur mengatakan, tawaran LBH sementara ini akan dibicarakan malam ini di penampungan Pasar Baru Porong. Selain membicarakan tawaran LBH nantinya dalam perundingan ini akan membahas persiapan-persiapan menjelang rencana perwakilan yang akan ditemui JUSSUF KALLA Wakil Presiden (Wapres) di Surabaya. Menurut rencana, Senin (26/02) lusa, Wapres akan menemui perwakilan warga untuk membicarakan tuntutan cash and carry. Jika Senin lusa pemerintah yang diwakili Wapres tidak bisa memberikan kepastian tentang ganti rugi cash and carry, bisa saja warga akan melakukan blokade yang sama seperti sebelumnya. Rencananya yang akan diblokade jalan menuju Bandara Internasional Juanda. Demikian berita dari ssnet, 24 Februari 2007, 18:47:48.

Sebenarnya, yang dituntut warga adalah ganti rugi (ganti atas kerugian yang diderita). Sederhana. Tetapi persoalan menjadi rumit karena siapa yang harus membayarkan ganti rugi itu. PT Lapindo Brantas tidak mencantumkan Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera (Perumtas) dalam daftar wilayah yang mendapatkan ganti rugi, walaupun perumahan itu juga tenggelam dalam Lumpur. Manajer Sumber Daya Manusia PT Lapindo Sebastian Ja’afar saat dialog dengan 16 perwakilan Perumtas mengatakan, Pedoman soal ganti rugi hanya pada peta yang dikirimkan Timnas (tim nasional penganggulangan lumpur Lapindo) pada 4 Desember lalu.” Pada peta itu, desa-desa yang mendapat ganti rugi adalah Jatirejo, Siring, Renokenongo dan Kedungbendo (non perum TAS). Juru Bicara Warga Perumtas Yohanes Imam Sumadi mengatakan, “Sejak pipa meledak Perumtas mulai terkena lumpur, jadi peta yang dibuat timnas sebenarnya tidak sesuai,” kata Juru Bicara Warga Perumtas Yohanes Imam Sumadi.

Sementara Lapindo tetap berpegang pada hasil kesepakatan sebelumnya, dan warga tetap pada tuntutannya karena kenyataannya memang mereka tergenang lumpur, ternyata Pemerintah tidak mengambil tindakan apapun. Karena itu bisa dimengerti bila warga Perum TAS merasa terombang-ambing tanpa kepastian nasib., dan kemudian mereka memakai bahasa yang lebih keras untuk menyuarakan tuntutan mereka. Itulah yang kemudian mencetuskan kegiatan pemblokiran jalan tol dan rel kereta api beberapa hari yang lalu.

Secara hukum, Lapindo tidak dapat disalahkan, karena mereka telah memenuhi kesepakatan. Namun, kenyataan di lapangan, Perum TAS tergenang lumpur dan warganya sekarang tinggal di pengungsian. Melihat desa-desa lain mendapat ganti rugi, maka wajar bila warga Perum TAS juga menuntut ganti rugi. Seharusnya, menghadapi situasi ini pemerintah turun tangan.

Pembuatan peta kawasan yang akan mendapat ganti rugi, yang disepakati pada tanggal 4 Desember 2006, sangat tergesa-gesa, dan belum memperhitungkan kondisi semburan lumpur yang belum dapat dipastikan kapan berhentinya. Itu suatu keteledoran. Seharusnya keteledoran itu menjadi tanggungjawab pemerintah, karena pemerintah melalui Timnas yang menyodorkan peta itu kepada Lapindo untuk disepakati.

Di waktu-waktu yang akan datang. Bila upaya menghentikan atau mengurangi semburan lumpur dengan bola-bola benton gagal. Sangat mungkin bila kawasan genangan lumpur akan makin meluas melampaui luas kawasan genangan yang sekarang. Seharusnya, kemungkinan ini diperhitungkan dalam menetapkan kawasan yang mendapat ganti rugi atau dalam menentukan tindakan lain terkait dengan upaya penanganan semburan Lumpur Sidoarjo.


Salam dari Ancol, 26 Febuari 2007
Wahyu

No comments: