Tuesday, November 21, 2006

Kaldera Lumpur Sidoarjo dan Sistem Zonasi

Hari ini, Kamis dini hari, 23 Nopember 2006 jam 04.20, Detik.com memberitakan bahwa penurunan tanah sedalam 5 (lima) meter telah menyebabkab meledaknya pipa gas Pertamina Porong. Peristiwa ini sangat menegaskan bahwa pembentukan Kaldera Lumpur Sidoarjo telah sangat nyata. Terkait dengan peristiwa ini, tuntutan pemindahan infrastruktur dari kawasan bahaya semburan lumpur menjadi semakin mendesak. Di hari-hari mendatang, kerusakan infrastruktur yang tidak dipindah karena amblesan akan semakin sering diberitakan. Mungkin tidak hanya infrastruktur yang perlu dipindahkan, pemukiman di sekitar kawasan semburan lumpur pun perlu dipindahan ke lokasi yang lebih aman dari kemungkinan meluasnya amblesan.
------------

Hari ini, 21 Nopember 2006 jam 16.56 WIB, kembali tanggul genangan lumpur Sidoarjo kembali ambles sampai 1 (satu) meter. Demikian diberitakan oleh Detik.com. Kejadian ini memperkuat perkiraan bahwa pembentukan kaldera yang berkaitan dengan terjadinya semburan lumpur itu sedang berlangsung.
-------------

15 November 2006, 15:57:37, Laporan Wiwin Kartikasari
Tanggul Cincin Terus Turun 1 Cm Setiap Hari
ssnet| Tanggul cincin di semburan utama Porong terus turun 1 centimeter setiap hari, bahkan sekarang sudah turun sekitar 95 centimeter.

Dilaporkan Teguh reporter Suara Surabaya, Rabu (15/11), Rudi Novrianto Jubir Timnas Penanggulangan Semburan Lumpur Porong mengatakan, kondisi tanggul cincin di sekitar semburan lumpur panas tersebut turun karena permukaan tanah di sekitarnya turun, dan sekarang sudah turun sekitar 95 centimeter.
--------------

Kutipan berita tersebut menunjukkan bahwa saat ini Mud Volcano Sidoarjo telah memasuki fase pembentukan kaldera yang indikasi permukaannya (amblesan atau subsidence) dapat dilihat secara visual. Sebelumnya, indikasi amblesan itu hanya dapat diketahui melalui pemamtauan GPS.

Berikut ini adalah arti dari istilah kardera, yang dikutip dari Alasaka Volcano Observatory (http://www.avo.alaska.edu/downloads/glossary.php).
caldera - A large crater formed by collapse or subsidence of the ground surface following a great eruption. During a typical caldera-forming eruption, the magma chamber is partially emptied and large amounts of ash and pyroclastic debris are extruded.

Terminologi itu dapat kita terapkan untuk kasus Mud Volcano di Sidoarjo. Semburan Lumpur Sidoarjo yang demikian besar volumenya telah menyebabkan kekosongan. Kekosongan itulah yang sekarang disusul dengan amblesan (collapse atau subsidence) dari permukaan tanah di atasnya.

Bila benar demikian, maka yang perlu dilakukan adalah mencari tahu seberapa luas atau bagaimana penyebaran sistem retakan yang ada sehingga dapat diperhitungkan berapa besar atau berapa luas kaldera yang akan terbentuk, bagaimana bentuknya dan berapa dalamnya.

Sampai saat ini, upaya menghentikan semburan lumpur belum berhasil. Membuang lumpur ke laut pun kita mengalami kesulitan. Sementara itu, tanggul makin sering retak dan kemudian jebol. Sedang volume semburan lumpur makin besar mencapai 156.000 meter kubik per hari. Dan, kita tetap tidak tahu sampai kapan semburan lumpur itu akan berlangsung. Jadi, sekarang inilah saatnya kita segera mengarahkan perhatian kita pada mengelola endapan lumpur yang sekarang ada dan yang akan muncul.

Menahan meluasnya lumpur dengan tanggul memiliki banyak keterbatasan. Salah satunya adalah bahwa kita tidak mungkin terus menerus manambah tinggi tanggul mengikuti bertambahnya ketinggian lumpur. Menurut rekaman data geologi di daerah South Caspian Basin yang diketahui dari data seismik, mud volcano dapat mencapai ukuran raksasa dengan tinggi 1,4 km dengan diameter mencapai 10 km (Davies, R.J., 2005; Emplacement of giant mud volcanoes in the South Caspian Basin). Hal ini berarti bahwa ada kemungkinan endapan lumpur di Sidoarjo itu akan terus bertambah tinggi dan bertambah luas genangannya. Di beritakan bahwa tanggul cincin di sekeliling pusat semburan sekarang ini telah mencapai ketinggian 26 meter. Selain itu, seiring dengan terjadinya amblesan atau subsidence, tanggul makin sering retak dan jebol.

Oleh karena itu, berdasarkan pada berbagai perkembangan terakhir itu, kini saatnya kita menangani genangan lumpur itu mempergunakan Sistem Zonasi, yang dilengkapi dengan saluran pembuangan. Tidak cukup lagi mengandalkan upaya menangani genangan lumpur hanya dengan sistem tanggul seperti dan upaya pembuangan seperti yang ada saat ini.

Secara garis besar, sistem zonasi yang dibuat adalah sebagai berikut:
1. Zonasi kawasan bahaya genangan lumpur ini bisa dibuat sebagaimana zonasi dalam pengelolaan suatu kawasan lindung atau kawasan terbatas lainnya.
2. Penempatan tanggul-tanggul penahan lumpur sebagai pembatas zona dilakukan dengan mempertimbangkan sistem retakan yang ada, dan memperhitungkan suplai lumpur. Zona (bahaya) utama hendaknya ditetapkan meliputi kawasan penyebaran retakan. Dan, di luar kawasan itu ditetapkan zona penyangga (buffer zone). Bila perlu, di luar buffer zone dapat dibuat zona terbatas lainnya. Jadi, minimal agar dibuat dua lapis tanggul. Satu tanggul yang mengelilingi zona utama, dan satu lagi mengelilingi zona penyangga. Bila perlu, dapat dibuat lagi tanggul d luarnya.
3. Berbagai macam infra struktur, fasilitas umum, dan pemukiman hendaknya dipindahkan dari kawasan yang masuk ke dalam zona penyangga atau buffer zone.
4. Tanggul-tanggul hendaknya dibuat permanen.
5. Saluran pembuangan dibuat untuk mengantisipasi curah hujan yang tinggi.

Kemudian, dengan perkembangan kondisi yang seperti sekarang ini, persoalannya telah menjadi terlalu besar skalanya untuk hanya ditangani oleh swasta (Lapindo,?). Kiranya, sekarang sudah saatnya Pemerintah mengambil alih upaya penyelesaian persoalan semburan lumpur tersebut. Penanganan genangan lumpur dengan sistem zonasi itu hanya akan dapat berjalan bila dilaksanakan oleh Pemerintah, karena akan banyak kegiatan pembebesan atau pengosongan lahan, pemindahan penduduk dan pemindahan infra struktur dan berbagai fasilitas umum.

Salam dari Ancol, 21 Nopember 2006
Update, 23 Nopember 2006
Wahyu

No comments: