Thursday, September 28, 2006

"Mud Volcano" Sidoarjo 3: front baru

Dalam rapat, Presiden menyetujui usulan Tim Nasional untuk membuang air lumpur Lapindo ke laut melalui Kali Porong. BASUKI Ketua Tim Nasional mengatakan kebijakan ini diambil setelah melihat kondisi krisis di lapangan dan asumsi Tim Nasional semburan lumpur sulit dihentikan (suarasurabaya.net, Rabu 27 September 2006).

Selain itu, Presiden juga mengeluarkan tujuh petunjuk kepada Tim Nasional Penanganan Semburan Lumpur Sidoarjo. Tujuh petunjuk itu sampaikan Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto didampingi Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar, Gubernur Jawa Timur Imam Utomo, Bupati Sidoarjo Wien Hindarso, dan Ketua Tim Nasional Penanganan Semburan Lumpur Sidoarjo Basuki Hadimuljono.

Ketujuh petunjuk itu adalah sebagai berikut (Kompas Online, Rabu, 27 September 2006):

Pertama, kawasan seluas 400 hektar yang saat ini tergenang lumpur dan diberi tanggul sebagai daerah rawan bencana dan tidak layak ditinggali.

Kedua, upaya penutupan semburan lumpur terus dilakukan meskipun kemungkinan berhasilnya kecil.

Ketiga, lumpur yang terus keluar akan ditampung terus, dimanfaatkan untuk industri, dan dialirkan ke Sungai Porong.

Keempat, memukimkan kembali rakyat tidak hanya rumah tetapi juga penghidupan dan pekerjaannya berikut ganti rugi yang wajar.

Kelima, tanggul tetap diperkuat dan dipelihara meski sudah ada solusi dialirkan ke Sungai Porong.

Keenam, memanfaatkan lumpur untuk hal-hal yang berguna karena tidak bebahaya.

Ketujuh, membuat rute baru untuk jalan tol, pipa gas, dan jalur kereta api.

----------------------

Persetujuan Presiden untuk membuang melegakan, dan ini merupakan bukti dukungan Pemerintah atas upaya penyelesaian masalah Lumpur Sidoarjo ini secara rasional. Namun demikian, persoalan lumpur ini tidak serta merta selesai. Persetujuan Pesiden itu dapat pula berarti sebagai persetujuan untuk membuka front perjuangan baru dalam mengatasi masalah Lumpur Sidoarjo itu. Sebuah front baru telah dibuka di kawasan pesisir Sidoarjo.

Sementara itu, dengan dibukanya saluran pembuangan lumpur atau air lumpur ke laut melalui kali Porong, belum pula berarti bahwa persoalan di darat selesai. Masih menggantung pertanyaan, (1) apakah semburan lumpur setiap harinya sekarang mensuplai lumpur sebanyak kurang lebih 50.000 meter kubik dapat diimbangi dengan pembuangan pengalirannya ke laut?, dan (2) seberapa cepat kemampuan kita membuat tanggul yang kuat untuk menghadapi musim hujan mendatang?

Kembali kepada hasil sidang kabinet di atas, ada satu hal yang sangat disayangkan, yaitu Pemerintah belum mengantisipasi kemungkinan dampak negatif yang terjadi akibat diizinkannya pengaliran air lumpur atau lumpur ke laut. Kalau hanya air yang dialirkan, memang akan tidak bermasalah atau hanya kecil masalah yang akan timbul di kawasan pesisir. Tetapi bagaimana bila musim hujan tiba? Bisa kita pastikan bahwa lumpur dalam jumlah besar juga akan ikut masuk ke laut. Memang, lumpur itu tidak mengandung bahan yang beracun dan berbahaya. Tetapi perlu kita ingat bahwa masuknya lumpur ke laut akan meningkatkan Total Suspended Solid (TSS) yang dapat menganggu keseimbangan ekosistem. Gangguan terhadap ekosistem pada gilirannya akan menganggu kegiatan perikanan, baik itu perikanan tambak maupun perikanan tangkap. Singkat kata, kehidupan masyarakat pesisir akan terganggu dengan dengan keputusan untuk mengalirkan air lumpur atau lumpur ke laut.

Akan muncul persoalan baru di kawasan pesisir. Itu pasti. Tetapi petunjuk untuk mengatasi hal itu dari Presiden (Pemerintah) belum ada. Oleh karena itu akan wajar bila masyarakat pesisir bertanya: "Bagaimana nasib kami nanti?"

Mari kita simak apa yang dikatakan oleh Bupati Sidoarjo. "Sesuai anjuran Menteri Perikanan dan Kelautan, kalau seandainya suatu saat volume lumpur sedemikian basar dan mematikan biota laut, harus dihiung ganti ruginya" (Detik.com, Rabu, 27 September 2006).

Pertanyaan itu menunjukkan bahwa Pemerintah belum melakukan antisipasi terhadap kemungkinan kerugian yang akan dialami masyarakat pesisir, sementara ancaman kerugian atau bahaya sangat nyata. Rasanya pantas bila kita bertanya: "Apakah Pemerintah tidak melihat deposit lumpur yang sedemikian besar dengan saluran yang terhubung ke laut merupakan ancaman yang nyata terhadap masyarakat pesisir?". Dengan analisis sederhana pun masyarakat dapat menarik kesimpulan bahwa, bila musim hujan tiba akan banyak muatan lumur yang masuk ke laut.

Jadi, cepat perhatikan masyarakat pesisir di kawasan Muara Kali Porong dan sekitarnya, sebelum terlambat.

Ada satu hal lagi yang masih tetap perlu kita ingat. Bahwa kita belum pengetahui kapan semburan lumpur itu akan berhenti. Bila ternyata semburan itu tidak dapat dihentikan, alias semburan permanen, maka akan selamanya pula akan terjadi suplai air lumpur atau lumpur ke laut (Selat Madura) melalui Kali Porong. Konsekunsinya, perubahan lingkungan di kawasan pesisir akan permanen. Lalu, masyarakat pesisir juga harus menata kembali kehidupannya. Menghadapi persoalan itu, bantuan Pemerintah adalah suatu keharusan.


Salam dari Ancol, 28 September 2006
Wahyu

Wednesday, September 27, 2006

"Mud Volcano" Sidoarjo 2: status bahaya


Foto 1. Kita menghadapi musim hujan dengan tanggul seperti ini? (suarasurabaya.net)

Sampai hari ini, Rabu 26 September 2006, nampaknya belum ada kesepakatan tentang status bahaya dari Mud Volcano Sidoarjo. Detik.com pada tanggal 22 September 2006 memberitakan bahwa, Menteri ESDM menyatakan bahwa Pemerintah baru akan menetapkan Status Bahaya jika kondisi luapan lumpur di Porong, Sidoarjo telah mengancam keselamatan manusia. Dikatakan bahwa, saat ini kondisi luapan lumpur di lapangan eksplorasi Lapindo Brantas statusnya masih Darurat.

Selanjutnya dicontohkan bahwa penerapan Status Bahaya pernah dilakukan oleh Wakil Bupati Sidoarjo, yang saat itu memerintahkan membuang lumpur ke Kali Porong. Saat itu, tanggulnya jebol dan pemukiman rakyat terganggu.

Selain itu juga diberitakan bahwa dalam rapat dengan Menteri ESDM, Menteri Lingkungan Hidup, dan Menteri Kelautan, Komisi VI DPR-RI meminta Tim Nasional Penaggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo untuk merubah Status Darurat menjadi Bahaya dalam upaya penangulangan semburan lumpur yang telah memasuki hari ke 117.

Masalah status bahaya menjadi isu yang penting karena status bahaya menentukan tindakan yang akan dilakukan. Sebagaimana diberitakan oleh TEMPO Interaktif pada hari Selasa 12 September 2006, dengan judul "Lumpur Lapindo Tidak Akan Dibuang ke Laut", Menteri Negara Lingkungan Hidup Rahmat Witoelar mengatakan, lumpur yang ada di Sidoarjo tidak akan dibuang ke laut. "Kami tetap ingin menyelamatkan lingkungan," katanya di Gedung DPR siang tadi. Kementerian lingkungan hidup, dia melanjutkan, tetap mengusahakan keselamatan lingkungan dan manusia. Karena, berbahaya apabila dikonfrontasi antara keselamatan alam dengan kepentingan manusia. Namun, jika pilihan akhir harus menyelamatkan manusia maka lumpur tersebut mau tidak mau akan dibuang ke laut. "Prioritas kita tetap menyelamatkan manusia," katanya. Sebelumnya, Bupati Sidoarjo, Win Hendarso mengatakan bahwa lumpur yang saat ini masih terus keluar dari perut bumi akan dibuang ke laut untuk menyelamatkan kepentingan manusia. Menurut Rahmat, ucapan bupati tersebut, sah-sah saja. "Itu soal pilihan bahasa saja," katanya.

Persoalannya adalah siapa yang berhak menentukan status bahaya itu ? Apa yang menghalangi Pemerintah untuk menetapkan satu institusi tertentu sebagai pemegang otoritas untuk menyatakan status bahaya lumpur itu?

Erupsi Gunung Merapi dan Erupsi Mud Volcano

Ketika terjadi erupsi Gunung Merapi di awal tahun ini, di minggu-minggu awal kegiatan erupsi sempat muncul situasi yang hampir sama dengan situasi ketika menghadapi masalah lumpur Sidoarjo ini. Namun, keadaan yang kacau itu segera berakhir ketika Pemerintah mangambil keputusan yang dengan tegas menyatakan bahwa Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) yang berkedudukan di Yogyakarta adalah yang memegang otoritas untuk menentukan status bahaya erupsi Gunung Merapi. Sejak penetapan itu, semua gerakan yang berkaitan dengan evakuasi pengungsi menjadi lebih terkendali dan arah dengan baik.

Sementara itu, di sisi yang lain, BPPTK dalam menetapkan status bahaya atau aktifitas Gunung Merapi telah memiliki suatu prosedur tetap yang merupakan standar Internasional. Dengan demikian, ketika suatu tingkat aktifitas ditetapkan, hal itu tidak mengundang protes dari pihak lain.

Keadaan atau situasi yang melingkupi erupsi Gunung Merapi di Yogyakarta itu sangat berbeda dengan keadaan yang melingkupi erupsi Mud Volcano di Sidoarjo. Seperti telah sama-sama kita ketahui, meskipun telah lebih 100 hari erupsi Mud Volcano terjadi, belum jelas apa yang harus dilakukan. Perbedaan pendapat masih terus berlangsung, sementara ancaman bahaya yang makin lama makin besar itu terus mendekat.


Bahasa Api vs Bahaya Lumpur

Status tingkat bahaya berkaitan erat dengat besar atau kecilnya serta tingkat kepastian ancaman terhadap jiwa manusia. Ketika kita berhadapan dengan erupsi Gunung Merapi, kita berhadapan dengan magma yang berbicara dengan Bahasa Api. Bahasa Api sangat jelas ketika mengisyaratkan ancaman terhadap keselamatan jiwa manusia, sehingga kita tidak memprotesnya ketika dikatakan bahwa suatu keadaan atau kegiatan erupsi sedang atau akan terjadi dan mengancam jiwa manusia.

Kondisi yang berbeda terjadi pada Bahasa Lumpur. Lumpur tidak mengancam keselamana jiwa atau merusak benda-benda secara instan. Berbeda dengan aliran Awan Panas yang sangat dramatis ketika berlalu dan menyapu segala yang dilewatinya, Lumpur tidak demikian. Orang yang berkubang dengan lumpur tidak mati. Rumah-rumah yang digenangi lumpur tidak hancur. Keadaan itu menyebabkan orang rumahnya atau sawahnya digenangi lumpur masih menyimpan harapan untuk dapat kembali ke rumahnya dan kembali mendapatkan sawahnya setelah lumpur tidak ada lagi.

Dengan kata lain, Bahasa Api berbicara sangat tegas dan lugas ketika datang melanda, sementara itu Bahasa Lumpur masih memberikan harapan. Lumpur itu ketika datang menggenangi pemukiman dan persawahan di Sidoarjo seakan berkata manusia: "Sekarang kamu pergi dulu sebentar. Nanti setelah saya pergi, kamu boleh kembali lagi menempati rumahmu dan menggarap lagi sawahmu".

Bahasa Lumpur yang lugu itu tampaknya telah membuat orang lalai dalam mempelajari karakteristik lumpur yang datang. Pemerintah (pengambil keputusan) lalai mempelajari lumpur apa yang datang dan dari mana asalnya dan berapa banyak. Lalai mencari tahu apakah kedatangannya hanya dalam waktu singkat atau selama waktu yang tidak dapat ditentukan. Bahasa Lumpur yang lugu juga menyebabkan Pemerintah (pengambil keputusan) tidak memperhatikan apa yang dikatakan oleh yang mengetahui karakter lumpur itu. Janji lumpur itulah yang tampaknya juga dipegang oleh banyak orang, sehingga banyak penduduk yang kampungnya terendam lumpur tetap berharapan akan kembali ke rumah-rumah mereka. Kembali menggarap sawah mereka.

Pemerintah pun tampaknya terpengaruh oleh bahasa lumpur itu, sehingga tidak jelas apa yang akan dilakukan menghadapi lumpur itu. Berharap bahwa lumpur akan dapat dihentikan dan kemudian menyingkirkannya.

Status Bahaya Lumpur

Karakteristik lumpur sangat berbeda dengan karakteristik magma atau api. Oleh karena itu, seharusnya kita memperlakukannya dengan cara yang berbeda ketika menetapkan status bahaya lumpur. Aliran awan panas yang memiliki karakteristik api sangat jelas mengisyartkan bahaya. Awan panas yang melanda aka menghancurkan segala yang dilalui dan mematikan segala kehidupan. Keadaan seperti itu bukan karakteristik genangan lumpur. Karakteristik genangan lumpur yang perlu diperhatikan adalah berapa banyak lumpur itu, apakah kedatangannya dapat dihentikan, dan berapa lama genangan itu akan berlangsung.

Awan panas memang mematikan, tetapi setelah dingin orang dapat kembali lagi ke daerah yang dilanda awan panas itu untuk memulai kembali kehidupan. Sementara itu hal yang berbeda terjadi pada lumpur. Memang lumpur tidak mematikan, tetapi bila terus menggenangi suatu kawasan, maka tidak ada hal yang dapat dilakukan selain kita harus menyingkir ke tempat lain, atau lumpur itu kita bersihkan. Kita tidak dapat hidup di genangan lumpur.

Mengingat karakter lumpur yang sangat berbeda bila dibandingkan dengan karakteristik awan panas, maka kita tidak dapat begitu saja menetapkan status bahaya lumpur dengan dasar ancaman terhadap keselamatan (jiwa) manusia. Tetapi kita harus melihat pada hal: (1) berapa lama genangan lumpur akan terjadi, dan (2) berapa luas kawasan yang akan digenangi lumpur. Jadi, persoalannya bukan pada berapa banyak jiwa yang akan melayang tetapi pada: (1) berapa banyak manusia akan mengungsi, (2) kegiatan produktif yang terhenti, serta (3) berapa banyak aktifitas yang terganggu dengan genangan lumpur.

Selanjutnya, bila kita dapat menerima karakter lumpur seperti yang diuraikan di atas, maka persoalan (1) mengetahui bisa atau tidak semburan lumpur itu dihentikan, serta (2) mencegah makin luasnya kawasan genangan lumpur menjadi hal yang penting, Kemudian, tingkat bahaya lumpur ditentukan berdasarkan pada kemungkinan atau kemampuan mencegah makin meluasnya kawasan genangan lumpur itu.

Dengan demikian, dalam menentukan status bahaya lumpur Sidoarjo itu, ada tiga hal yang harus diperhitungkan, yaitu (1) semburan lumpur, (2) tanggul penahan lumpur, dan (3) curah hujan.

Semburan lumur, bila terus berlangsung maka akan selalu meningkatkan status bahaya genangan lumpur. Kita tidak dapat mengendalikan faktor ini.

Tanggul penahan lumpur, bila kita hanya memakai tanggul sementara untuk menahan lumpur, maka makin lama makin memperbesar tingkat bahaya. Pembuatan tanggul permanen akan mengurangi tingkat bahaya genangan lumpur. Kita dapat mengendalikan faktor ini, tetapi beberapa waktu yang lalu ada kegiatan penentangan dari penduduk yang pemukimannya tergenang lumpur atas usulan pembuatan tanggul permanen.

Curah hujan akan tinggi di musim hujan. Ini berarti bahwa di musim hujan tingkat bahaya genangan lumpur tinggi. Pengaruh kondisi curah hujan terhadap tingkat bahaya genangan lumpur berkaitn erat dengan kondisi tanggul. Kita tidak dapat mengendalikan ini.

Menghadapi musim hujan yang akan datang, dengan kondisi semburan lumpur yang terus berlangsung, maka penilaian yang objektif untuk menetapkan status bahaya genangan lumpur Sidoarjo bisa kita lakukan dengan menilai kondisi tanggul-tanggul penahan lumpur yang ada sekarang.

Salam dari Ancol, 27 September 2006
Wahyu

Tuesday, September 26, 2006

"Mud Volcano" Sidoarjo 1: kita hanya bicara



Dalam sepekan yang lalu, ada hal yang menarik muncul di media massa, yaitu berita tentang berbagai pernyataan para pengambil keputusan yang simpang siur tentang upaya menangani berbagai hal yang terkait dengan aktifitas "Mud Volcano" di Sidoarjo. Mari kita perhatikan bagaimana simpang-siurnya pendapat itu muncul ke permukaan, yang dapat kita simak dari pemberitaan media massa.

Kutipan 1.
Lumpur Lapindo Mengandung Racun
Jum'at, 15 September 2006 | 01:48 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta:Pengkampanye energi Jaringan Advokasi Tambang Andre S. Wijaya menyatakan lumpur panas Lapindo Brantas mengandung racun. "Dari hasil uji laboratorium ditemukan ada kandungan logam berat," kata Andre kepada Tempo semalam.

Kandungan bahan kimia lumpur yang menyembur di Porong, Sidoarjo, itu antara lain phenol, sejenis alkohol yang bisa membuat iritasi kulit, dan senyawa chlor yang berpotensi menjadi racun jika menjadi gas clorida. Selain itu, terdapat juga logam berat seperti raksa (hg), kromium, kadmium, dan besi.

Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi merekomendasikan kepada pemerintah untuk membuang lumpur Lapindo langsung ke pesisir Sidoarjo. Pesisir yang kini berupa rawa itu bisa disulap menjadi pulau lumpur dengan bahan sekitar 41,5 juta meter kubik lumpur.

Langkah ini ditempuh jika opsi penyumbatan dan pembuangan lumpur Lapindo di Banjar Panji 1 Renokenongo gagal. Derasnya luapan lumpur panas sejak 29 Mei ditakutkan menimbulkan bencana saat hujan tiba. Volume semburan yang rata-rata 50 ribu meter kubik lumpur per hari, telah menggenangi sembilan desa dan memaksa ribuan penduduk mengungsi.

Andre menambahkan, masih perlu pengkajian terhadap konsentrasi, sebaran logam guna memastikan risiko bagi kesehatan dan lingkungan. Karena lumpur sudah masuk ke siklus hidrologi seperti sungai dan sumur galian, maka standar baku mutu air harus negatif dari kandungan logam.

Dia khawatir kandungan kimia berubah menjadi racun dalam kondisi suhu tertentu. Mengingat kawasan pantai banyak faktor yang mempengaruhi terurainya bahan kimia. "Tidak ada satu pihakpun yang menjamin keamanannya," ujarnya.

Farah Sova, Deputi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, mengatakan, pembuangan lumpur tidak sekadar menutup permukaan laut. "Air laut bisa membawa lumpur ke tempat lain, sehingga dampaknya bisa meluas," ujar kata Farah.

Ketua Dewan Lingkungan Sidoarjo Nurul Ahdi juga menemukan lumpur Lapindo mengandung bahan kimiawi di atas ambang batas kewajaran. "Selain logam berat raksa serta kandungan minyak, lemaknya cukup tinggi sehingga bisa mematikan biota air," katanya.

Kementerian Lingkungan Hidup meminta ada kajian matang sebelum opsi ini dilaksanakan. "Harus dicari cekungan yang tepat dengan kemiringan tertentu pada lokasi tertentu sehingga dapat dibentuk sliding untuk membendung," kata Asisten Deputi Urusan Pengkajian Dampak Lingkungan KLH, Hermien Roosita.

Bupati Sidoarjo Win Hendrarso, meminta solusi apapun yang hendak diambil cepat diwujudkan. Rekomendasi pembuatan Pulau Lampur, menurutnya, sangat mungkin dan relatif mudah karena tanah-tanah di daerah yang diincar sebagian besar milik negara. "Belum ada pemilik sah secara perorangan," katanya.

Di pesisir Sidoarjo, menurut Win, terdapat sekitar 1.000 hektare rawa. Dia minta pemerintah pusat 100 persen yang menangani opsi ini sehingga memperkecil potensi gejolak masyarakat terutama di Selat Madura.

Dari pantauan Tempo, pesisir yang dibidik untuk pembuangan lumpur berada di Desa Tegalsari, Kecamatan Jabon. Satu satunya akses menuju bibir pantai dengan berjalan kaki menyusuri hutan bakau sejauh 2,5 kilometer. Hutan mangrove memanjang mulai dari Jabon sampai Juanda, perbatasan Sidoarjo-Surabaya yang berjarak kurang lebih 50 kilometer.
****************
DIALOG YANG RAMAI DAN SERU DI TENGAH BAHAYA LUMPUR YANG MAKIN MENDEKAT. SEMUA MENYADARI BASARNYA ANCAMAN BAHAYA BILA MUSIM HUJAN TIBA?. TETAPI, SEMUANYA MASIH BERBICARA TERUS, TANPA TINDAKAN NYATA. MEMANG KITA PANDAI BERBICARA.

Kutipan 2.
Pulau Lumpur Tak Menjadi Opsi
Selasa, 19 September 2006 | 11:14 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta:Pulau lumpur tidak menjadi pilihan bagi penanganan lumpur Lapindo Brantas yang terus menyembur di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Gagasan ini dianggap memerlukan waktu lama dan membutuhkan biaya yang sangat mahal.

Opsi pulau lumpur direkomendasikan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) bersama Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, beberapa waktu lalu. Lahan yang dibutuhkan untuk pulau lumpur sekitar 6.800 hektar untuk menampung sekitar 41 juta meter kubik lumpur.

Lahan itu berada di kawasan delta Sidoarjo yang sudah mengalami sedimentasi secara alami sejak puluhan tahun lalu.

Ketua Tim Nasional Pelaksana Penanganan Penanggulangan Semburan Lumpur Basuki Hadimulyono mengatakan,menyediakan tanah ribuan hektare untuk pulau lumpur bukan perkara gampang.
"Belum tentu masyarakat mau diberi ganti rugi. Ini soal waktu yang mepet. Kalau kondisi ideal itu bisa menjadi pilihan yang baik," katanya usai rapat koordinasi di Gedung Negara Grahadi Surabaya tadi malam hingga dini hari tadi.
********************
ENTAH LAH, INI ALTERNATIF KE BERAPA YANG DITOLAK. TAPI, HANYA BISA MENOLAK TANPA MEMBERIKAN ALTERNATIF JALAN KELUAR.

Kutipan 3.
Tanggul Permanen Lumpur Lapindo Dibangun Januari 2007
Selasa, 19 September 2006 | 13:42 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta:Rasa waswas warga Porong, Sidoarjo, akan bencana lumpur belum akan berakhir dalam waktu dekat. Tanggul jebol dan luberan lumpur masih terus mengancam. Sebab, Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur Sidoarjo baru memutuskan membangun tanggul permanen guna mencegah terjadinya tanggul jebol. Namun, pembangunan itu baru bisa dilaksanakan paling cepat akhir Januari 2007.

Menurut Ketua Pelaksana Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur Sidoarjo Dr Basuki Hadimulyono, saat ini tanggul permanen masih dalam tahap desain. Karena November, Desember hingga Januari adalah musim penghujan, kata dia, secara teknis membangun tanggul permanen pada bulan itu tidak dimungkinkan.
*****************
MUSIM HUJAN MASUK BULAN OKTOBER 2006, TANGGUL BARU AKAN DIBUAT BULAN JANUARI 2007. BERARTI HARUS SIAP-SIAP BERNAFAS DALAM LUMPUR DIKALA MUSIM HUJAN NANTI.
SEPERTI INIKAH YANG DIKATAKAN MEMENTINGKAN KESELAMATAN MANUSIA?

Kutipan 4.
Lumpur Lapindo Tidak Akan Dibuang ke Laut
Selasa, 19 September 2006 | 14:58 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta:Menteri Negara Lingkungan Hidup Rahmat Witoelar mengatakan, lumpur yang ada di Sidoarjo tidak akan dibuang ke laut. "Kami tetap ingin menyelamatkan lingkungan," katanya di Gedung DPR siang tadi.

Kementerian lingkungan hidup, dia melanjutkan, tetap mengusahakan keselamatan lingkungan dan manusia. Karena, berbahaya apabila dikonfrontasi antara keselamatan alam dengan kepentingan manusia. Namun, jika pilihan akhir harus menyelamatkan manusia maka lumpur tersebut mau tidak mau akan dibuang ke laut. "Prioritas kita tetap menyelamatkan manusia," katanya.

Sebelumnya, Bupati Sidoarjo, Win Hendarso mengatakan bahwa lumpur yang saat ini masih terus keluar dari perut bumi akan dibuang ke laut untuk menyelamatkan kepentingan manusia. Menurut Rahmat, ucapan bupati tersebut, sah-sah saja. "Itu soal pilihan bahasa saja," katanya.

Saat ini pemerintah sedang menyiapkan skenario bahwa lumpur tersebut seolah-olah tidak akan pernah berhenti. Maka tetap akan ada sistem pemisahan air dan lumpur agar lingkungan tidak rusak.
**************
HE HE HE HE , SEMUA MENGATAKAN UNTUK KEPENTINGAN MANUSIA. TAPI, TERUS BERDEBAT SAJA TANPA TINDAKAN NYATA, SEMENTARA ANCAMAN BAHAYA LUMPUR MAKIN MEMBESAR.
TAHU ADA ANCAMAN BAHAYA DI MUSIM HUJAN YANG AKAN DATANG, TAPI TINDAKAN NYATA TIDAK ADA. DI BUAT PULAU LUMPUR NGAK BOLEH; DIBUANG KE LAUT, JUGA NGAK BOLEH; KATANYA MAU BUAT TANGGUL PERMANEN, TAPI SETELAH MUSIM HUJAN (SETELAH BENCANA MELANDA?). AH ....., KATANYA BERBUAT UNTUK MENYELAMATKAN KEPENTINGAN MANUSIA.

Kutipan 5.
Tanggul Lumpur Lapindo Setinggi Tujuh Meter Jebol
Rabu, 20 September 2006 | 13:43 WIB

TEMPO Interaktif, Sidoarjo:Desa Siring, Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, kembali tenggelam lumpur panas, Rabu malam, setelah tanggul setinggi tujuh meter yang mengelilingi desa tersebut jebol.

Dari pantauan Tempo, desa yang berada di sisi barat dari pusat semburan tersebut saat ini sudah tenggelam hingga setinggi lutut orang dewasa. Parahnya, lumpur yang mengalir deras masuk ke dalam desa adalah lumpur yang masih hangat dengan hanya sedikit kandungan air.
-------
Karena lumpur sudah hampir menyamai tinggi tanggul. Bahkan, sejak kemarin pagi beberapa kali lumpur meluap. Untuk menghindari luapan aparat TNI dari Batalion Zipur mencoba menghalau dengan cara membuat tanggul setengah melingkar untuk mengarahkan lumpur supaya mengarah ke sisi selatan menuju kolam penampungan (Pond) 5.

******************
AH....., YANG NAMANYA LUMPUR TETAP LUMPUR. TIDAK AKAN MENUNGGU DEBAT SELESAI. DIA TETAP MENGIKUTI HUKUM DARI PENCIPTANYA
KALAU SEKARANG SAJA TANGGUL SUDAH JEBOL, BAGAIMANA BILA MUSIM HUJAN TIBA NANTI MULAI BULAN OKTOBER?

Kutipan 6.
Lapindo Tak Sudi Danai Bedol Desa
Kamis, 21 September 2006 | 02:56 WIB

TEMPO Interaktif, Sidoarjo:Lapindo Brantas tidak akan mencarikan lahan apalagi membangunkan rumah untuk warga di delapan desa yang hendak bedol desa karena semburan lumpur panas. "Itu mustahil dilakukan karena apapun yang dibeli Lapindo secara otomatis menjadi aset negara," ujar juru bicara PT Lapindo Brantas Inc Yuniwati Teriana, kemarin.

Menurutnya, Lapindo hanya kontraktor Badan Pengelola Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas). Jika membeli segala sesuatu berkaitan dengan eksplorasi gas, konsekuensinya menjadi aset negara. "Kalau harus membeli seluruh aset korban, untuk apa?" tanya Yuniwati kepada Tempo.

Prinsipnya, kata dia, pembelian seluruh aset korban lumpur tidak mungkin diwujudkan. Apalagi luapan lumpur sudah menenggelamkan lebih dari 350 hektare lahan dan 1.810 tempat tinggal penduduk.
Yuniwati mengaku akan membahas persoalan ini dengan tim nasional yang memegang kendali penanggulangan lumpur. "Kami juga mengirimkan surat kepada BP Migas, tapi belum ada jawaban pasti apakah diizinkan membeli seluruh aset korban lumpur atau tidak," ungkapnya.

Konsentrasi Lapindo terhadap korban lumpur, katanya, memberi ganti rugi berupa uang kontrak rumah selama 2 tahun, uang transportasi Rp 500 ribu setiap keluarga, dan uang makan Rp 300 ribu per orang.

Wakil Ketua Badan Pengelola Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) Trijana Kartoatmodjo mengatakan, Lapindo harus menanggung seluruh biaya bedol desa. Sebab, pemerintah tidak akan mengganti kerugian yang ditimbulkan.

Trijana menganggap keliru jika Lapindo tidak akan membeli rumah dan tanah warga korban lumpur yang hendak direlokasi secara permanen. "Itu tidak benar," ujar Trijana Kartoatmodjo yang juga sebagai Wakil Ketua Tim Nasional Penanggulangan Lumpur Lapindo.

Anggota tim nasional lainnya, Rawindra, menambahkan Lapindo harus membayar semua dampak semburan lumpur. "Mau tidak mau harus bayar," ujarnya Rawindra yang juga menjabat sebagai General Manajer PT Lapindo Brantas.

Dalam kondisi normal, menurutnya, secara bisnis apapun yang dibeli Lapindo akan menjadi aset negara dengan asumsi mendapat penggantian biaya atau cost recovery. "Kondisi saat ini berbeda, semua menjadi tanggung jawab Lapindo."

Mendengar ketidaksanggupan PT Lapindo, Bupati Sidoarjo Win Hendrarso menilai perusahaan itu memang tidak pernah menunjukkan kesungguhannya menangani bencan lumpur. Dia mengaku tidak akan berhenti menuntut tanggung jawab Lapindo. "Seluruh ganti rugi harus ditanggung," Win menegaskan.
Win pun sudah menyiapkan lahan alternatif untuk permukiman warga dari delapan desa. Di antaranya di Kecamatan Candi meliputi Desa Kecabean (24,2 ha), Desa Klurak (8 ha), dan Desa Kendal (3 ha). Sedangkan di Kecamatan Krembung meliputi Desa Krembung Kecamatan Krembung (50 ha), Desa Tulangan (50 ha) dan Desa Banjarasri Kecamatan Tanggulangin (50 ha).
*****************
SEMUA TANGGUNGJAWAB LAPINDO. LAPINDO HARUS MEMBAYAR. SEMENTARA ITU, LAPINDO MENJAWAB: TIDAK AKAN MENCARI LAHAN, APALAGI MEMBANGUNKAN RUMAH UNTUK DELAPAN DESA.
SEMUA DEBAT ITU TENTU SERU, TETAPI MASYARAKAT LAMA-LAMA BISA NGAK SABAR LHO. DAN LUMPUR JUGA NGAK AKAN BERHENTI MENYEMBUR DAN MENUNGGU DEBAT SELESAI.

Kutipan 7.
Tidak ada Penambahan Kolam Penampungan Lumpur Lapindo
Kamis, 21 September 2006 | 22:26 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta: Ketua Tim Nasional Penanggulangan Lumpur Panas Sidoarjo Basuki Hadimoeljono mengatakan kolam penampungan tidak akan ditambah lagi. Sebab penambahan lokasi penampungan berpotensi menimbulkan gejolak sosial.

"Itu dikhawatirkan ada implikasi sosial,"katanya dalam rapat dengar pendapat di DPR Kamis malam (21/9). Selama ini sudah dibuat hingga kolam (pond) 5 dengan total 354 hektar. Namun untuk pond 5 ini sedang dipersiapkan dan diharapkan mampu menampung lumpur hingga 4 bulan.

*********************
KALAU KITA BOLEH BERTANYA PADA PAK BASUKI, BILA KOLAM PENAMPUNGAN TIDAK DITAMBAH, LUMPUR TIDAK BOLEH DIBUANG KE LAUT, PULAU LUMPUR TIDAK BOLEH DIBUAT, SEMENTARA ITU LUMPUR TERUS BERTAMBAH, LALU SEBAIKNYA BAGAIMANA? KIRA-KIRA APA JAWABNYA YA.

Kutipan 8.
Lapindo Memang Harus Membayar Ganti Rugi
Kamis, 21 September 2006 | 23:35 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta: Ketua Timnas Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo Basuki Moeljono mengatakan, semua kerugian akibat semburan lumpur panas ditagung oleh Lapindo. Apalagi saat ini pemerintah telah membentuk tim nasional penanggulangan, sehingga biaya ganti rugi harus diganti Lapindo.

Untuk menanggulangi semburan lumpur ini, kata Basuki, pemerintah juga harus menetapkan semburan lumpur itu sebagai keadaan bahaya. "Sebab semburan lumpur itu telah mengancam keselamatan manusia dan lokasi lumpur itu sendiri sudah tidak layak dihuni," kata Basuki di Jakarta, kemarin.

Menurut Anggota Komisi Energi DPR Ahmad Farial, Lapindo memang harus membayar ganti rugi dampak semburan lumpur Lapindo. Tapi, untuk biaya operasional tim nasional juga dibebankan ke Lapindo. Padahal pembentukan tim ini melalui Keputusan Presiden. "Seharusnya ada anggarannya," ujarnya.
*****************
MASIH BELUM ADA TINDAKAN NYATA KAN? MALAH PERDEBATANNYA MAKIN TAMBAH SERU.
BARANGKALI PANTAS JUGA BILA KITA BERTANYA: BENAR NGAK SIH, KALAU TIM NASIONAL YANG DIBENTUK DENGAN KEPUTUSAN PRESIDEN MINTA DUITNYA PADA LAPINDO?

Kutipan 9.
Wapres: Lapindo Tanggung Semua Biaya Penanganan Lumpur
Jum'at, 22 September 2006 | 20:18 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta:Wakil Presiden Jusuf Kalla menegaskan seluruh biaya penangganan lumpur di Porong, Sidoarjo, menjadi tanggung jawab PT Lapindo Brantas Inc. "Ini sesuai kesepakatan awal," kata Jusuf Kalla, Jumat siang.

Biaya yang harus ditanggung Lapindo, katanya, termasuk untuk bedol desa warga di delapan desa yang permukimannya tergenang lumpur. Begitu pula dengan dana yang dibutuhkan Tim Nasional Penanggulangan Lumpur yang dipimpin Basuki Hadimoeljono.

Dalam Keputusan Presiden tentang pembentukan tim itu dijelaskan, biaya tim ditanggung Lapindo. "Kalau mereka minta dibiayai pemerintah, kami menolak," ujar Kalla.

Sebelumnya, juru bicara PT Lapindo Brantas Inc. Yuniwati Teriana mengatakan, perusahannya tidak akan mendanai bedol desa. Delapan desa yang akan dipindahkan yakni Desa Siring, Jatirejo, Kedungbendo, Renokenongo, Mindi, Pejarajab, Kedungcangkring, dan Besuki.
**********************
YAH ...., MAKIN SERU KAN PERDEBATANNYA? ORANG NOMOR SATU DAN NOMOR DUA DI NEGARA INI JUGA IKUT BERBICARA. SEMENTARA ITU, LAPINDO DENGAN JURU BICARANYA JUGA NGAK MAU DIAM BEGITU SAJA.
YANG AKAN MENANG DEBAT INI SIAPA YA? ATAU, SIAPA YANG AKAN MENDERITA DENGAN DEBAT INI YA?

Kutipan 10.
Luapan Lumpur Sidoarjo Telah Mencapai 6,15 Juta M3

ssnet| Tim Nasional Penanggulangan Lumpur Sidoarjo mengungkapkan, sejak terjadinya luapan pada 29 Mei 2006 hingga 12 September 2006, volume lumpur telah mencapai 6,15 juta meter kubik (m3).

Ini disampaikan BASUKI HADIMOELJONO Ketua Pelaksana Tim Nasional Penanggulangan Lumpur selesai rapat kerja dengan Komisi VII DPR di Jakarta, Kamis (21/09). Ia mengatakan, saat ini, kecenderungan volume keluarnya lumpur semakin besar. "Lumpur sudah sulit dikontrol dan berlangsung terus," katanya.

Menurut BASUKI yang juga Kepala Balitbang Departemen Pekerjaan Umum (PU), antara 29 Mei hingga 7 September 2006 volume luapan lumpur mencapai 5,7 juta m3 atau 55.000 m3 per hari.

"Sementara antara 7-12 September 2006 volume luapan lumpur mencapai 450.000 m3 atau per hari 75.000 m3," katanya.

Kata BASUKI, tingkat keberhasilan penutupan lumpur dengan metoda relief well hanya 10 persen. "Kita perkirakan 90 persennya tidak berhasil, karena harus menutup luapan yang berada tiga km di bawah permukaan tanah," katanya.

Menurut BASUKI, solusi penanggulangan lumpur tidak lagi dengan menambah kolam penampungan. Hingga saat ini, luapan lumpur telah menyebabkan 2.700 kepala keluarga mengungsi, menggenangi delapan desa, 250 ha sawah, 23 pabrik, jalan tol, rel KA, jaringan listrik, telepon, irigasi, dan drainase.

KUSWIYANTO Wakil Ketua Komisi E DPRD Jatim pada Sara Surabaya, Jumat (22/09) menjelaskan, sesudah pertemuan dengan Komisi VII DPR RI semalam diharapkan makin memantapkan Tim Nas Penanggulangan Lumpur untuk menetapkan kondisi bahaya di lokasi lumpur Sidoarjo. Untuk itu penyelamatan warga menjadi prioritas utama.

Diakui KUSWIYANTO ada beberapa skenario penanganan warga korban lumpur, pertama ganti untung, resettlement, dan relokasi. Tapi ke-3 upaya ini harus benar-benar ada jaminan riil dan kongkrit untuk dilaksanakan.

Senada dengan KUSWIYANTO, LATIEF BURHAN Ketua Dewan Lingkungan Hidup Propinsi Jatim menyatakan, langkah awal penyelesaian lumpur Lapindo ini adalah resettlement warga.

Semestinya kata LATIEF BURHAN, Pemkab Sidoarjo segera menetapkan pemindahan warga. Lalu mereka yang menerima dampak jangan meminta dikembalikan lagi pada kondisi semula karena pasti tidak mungkin.

Tentang rencana air lumpur dibuang ke laut, kata Ketua Dewan Lingkungan Hidup ini, silakan asal sudah diolah.(gk)

*****************
MEMANG SERU KAN, DITENGAH BENCANA YANG MAKIN MENGANCAM, SEMUANYA MASIH DIRAPATKAN, DIRENCANAKAN, MASIH BERBICARA SEMESTINYA, MASIH BERBICARA RENCANA YANG BELUM ADA JAMINAN DILAKSANAKAN. YANG PASTI, SAMPAI TANGGAL INI BELUM ADA TINDAKAN NYATA DARI MEREKA YANG MENGATAKAN MEMENTINAGKAN KESELAMATAN WARGA.

Kutipan 11.
Dana Tim Nasional Penangulangan Lumpur Urusan Lapindo
Sabtu, 23 September 2006 | 01:30 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta:Wakil Presiden Jusuf Kalla menegaskan seluruh biaya penangganan lumpur di Porong, Sidoarjo, menjadi tanggung jawab PT Lapindo Brantas Inc. "Ini sesuai kesepakatan awal," kata Jusuf Kalla kemarin.

Biaya yang harus ditanggung Lapindo, katanya, termasuk untuk bedol desa warga di delapan desa yang permukimannya tergenang lumpur. Begitu pula dengan dana yang dibutuhkan Tim Nasional Penanggulangan Lumpur yang dipimpin Basuki Hadimoeljono.

Dalam Keputusan Presiden tentang pembentukan tim itu dijelaskan, biaya tim ditanggung Lapindo. "Kalau mereka minta dibiayai pemerintah, kami menolak," ujar Kalla.

Sebelumnya, juru bicara PT Lapindo Brantas Inc. Yuniwati Teriana mengatakan, perusahannya tidak akan mendanai bedol desa. Delapan desa yang akan dipindahkan yakni Desa Siring, Jatirejo, Kedungbendo, Renokenongo, Mindi, Pejarajab, Kedungcangkring, dan Besuki.

Semburan lumpur panas Lapindo makin mengkhawatirkan. Selain menenggelamkan permukiman penduduk juga merusak jalan tol Surabaya-Gempor serta menutup Jalan Raya Porong. Dinas Perhubungan Jawa Timur telah membuat jalur alternatif lalu lintas jalur Surabaya-Malang dan sebaliknya.

Angkutan kereta api Surabaya-Malang, misalnya, rutenya akan dialihkan ke selatan melintasi Mojokerto, Jombang, Kertosono, Kediri, Blitar, dan Malang. Untuk mengantisipasi lonjakan penumpang, jalur penerbangan langsung ke Malang akan ditambah frekwensinya.
****************
KUTIPAN YANG KE-11 INI SUBSTANSINYA SAMA DENGAN KUTIPAN KE 9. HANYA JUDULNYA DAN TANGGAL PEMBERITAANNYA YANG BERBEDA. ENTAH MENGAPA BERITA DEBAT INI DITERBITKAN ULANG. MUNGKIN KITA MEMANG SUKA BERDEBAT, DAN BUKAN BERUPAYA MENCARI JALAN KELUAR DARI PERSOALAN.

*******************
Catatan Penutup

Hari senin, 25 September 2006. Detik.com memberitakan bahwa:
1. Siang: Ada berita bahwa Siring mengkhawatirkan.
2. Sore: Ada berita bahwa tanggul di pusat semburan lumpur jebol. Ada berita simulasi dari para Ahli Geologi yang menyatakan bahwa pada Bulan Desember 2006, Porong tenggelam.
3. Malam: Diberitakan bahwa tanggul lumpur di Siring kembali jebol menggenangi jalan Tol Surabaya - Gempol, mengancam jalur kereta api Surabaya - Malang sehingga harus ditinggikan, dan merusak peralatan elektronik milik Jasa Marga.

Apa yang akan kita saksikan hari-hari selanjutnya?

Salam dari Ancol, 26 September 2006
Wahyu

Friday, September 22, 2006

KORBAN LUSI, MENGAPA KITA PERLAKUKAN BERBEDA?

Pada tanggal 9 September 2006, di dalam rubrik Opini Harian Kompas, Jaya Suprana menulis tentang korban LUSI, yang isinya menyuarakan kritikan atas perbedaan perlakuan yang kita berikan terhadap mereka yang terkena LUSI dan tsunami Aceh atau Gempa Yogya.

Berikut ini adalah sebagian dari tulisan Jaya Suprana itu:

********
Sebenarnya nasib naas Sidoarjo setaraf dengan Aceh dan Yogyakarta. Malah jika Aceh dan Yogyakarta dengan penuh gelora semangat masih bisa lantang mencanangkan program Bangkit Kembali, Sidoarjo justru tidak memiliki sisa apa pun untuk dibangkitkan kembali. Bumi Sidoarjo seolah sudah "terkutuk" menjadi lahan yang mustahil dimanfaatkan untuk perumahan, industri, maupun pertanian. Yang masih tersisa hanya dijadikan semacam monumen percontohan malapetaka ekologi buatan manusia.

Dahulu itu kita sempat terkagum-kagum menyaksikan ulah CNN, BBC, ABC, dan berbagai stasiun TV internasional begitu sengit berebut sibuk memberitakan peristiwa bencana yang menimpa Aceh dan Yogya, tapi kini mengenai malapetaka Lusi nyaris tak terlihat pemberitaannya. Sepoi-sepoi pun tidak!
------------
Masih segar hadir dalam ingatan kita semua adegan masyarakat tidak hanya dari seluruh pelosok Nusantara, tetapi juga mancanegara berbondong-bondong mengunjungi dan memadati Aceh dan Yogyakarta di masa pascatsunami dan gempa sebagai ungkapan rasa prihatin dan duka mereka terhadap Ibu Pertiwi yang sedang menangis. Meski banyak juga yang berdatangan untuk sekadar melakukan sight-seeing sebagai turis-bencana.

Namun, rasanya tidak terlalu banyak insan dalam maupun luar negeri yang secara khusus berkunjung ke Sidoarjo secara prihatin, padahal skala derita rakyat akibat bencana Lusi cukup setara dengan tsunami Aceh dan gempa Yogya untuk diprihatinkan. Bahkan, dalam hal harapan menyongsong masa depan, kondisi pascabencana Lusi di Sidoarjo pada hakikatnya jauh lebih tragis dan lebih pesimistis ketimbang Aceh dan Yogyakarta!
---------------
Mungkin, segenap sikap terkesan kurang peduli itu timbul akibat kejenuhan atas peristiwa rentetan bencana malapetaka yang terjadi beruntun, seolah tak kenal henti, terus-menerus, dan silih berganti menimpa bumi dan rakyat Indonesia. Mungkin juga karena Sidoarjo memang tidak sepopuler Aceh atau Yogyakarta. Atau mungkin juga akibat diketahui sudah ada pihak yang telah ditunjuk sebagai penanggung jawab penuh atas segala akibat bencana Lusi yang, menurut pendapat para ekolog, sudah layak dinyatakan sebagai Bencana Nasional itu!

Maka, secara psikologis pihak-pihak pejuang kemanusiaan, pelestari lingkungan hidup, pembela kaum tertindas, relawan kemanusiaan, dan para sepaham lainnya merasa tidak perlu ikut campur tangan untuk repot membantu sebab sudah ada pihak yang bertanggung jawab menyatakan bersedia untuk membantu.
*********

Tiga alasan tidak peduli?

Mengenai situasi yang aneh itu, di bagian akhir tulisannya itu, Jaya Suprana memberikan tiga kemungkinan alasan untuk tidak perduli terhadap mereka yang terkena LUSI:
1) Jenuh atas rentetan peristiwa bencana
2) Sidoardjo tidak sepopuler Aceh atau Yogyakarta
3) Diketahui sudah ada pihak yang telah ditunjuk sebagai penanggung jawab penuh atas segala akibat bencana Lusi

Sekarang, mari kita lihat bagaimana kondisi kita.

Bila alasan pertama yang menjadi penyebab ketidak-perdulian kita, maka ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang lemah, dan tidak konsisten. Kita tidak mampu untuk tetap konsisten dalam menghadapi masalah yang berruntun.

Bila alasan ke-dua yang menjadi penyebabnya, maka kita sebenarnya adalah bangsa yang penuh dengan pamrih, minimal pamrih kepopuleran.

Bila alasan ke-tiga yang menjadi alasan kita untuk tidak peduli, maka kita adalah bangsa yang hidup dengan bayangan. Kita hidup dalam bayangan bahwa telah ada pihak yang bertanggungjawab terhadap masalah semburan lumpur itu, sementara kita sendiri belum tahu (secara hukum) apakah hal itu benar. Dengan kata lain, selama ini kita hidup dan bertindak berdasarkan pada dugaan yang belum tentu benar. Di sisi yang lain, keadaan seperti ini menunjukkan kekerasan hati kita yang sedemikian rupa, sehingga kita tega melihat saudara kita menderita hanya karena kita berpendapat bahwa ada pihak yang bertanggungjawab atas penderitaan itu. Hati kita telah beku. Kita telah kehilangan rasa saling tolong menolong. Atau, apakah kebencian kita kepada pihak yang bertanggungjawab telah sedemikian besar sehingga menutup rasa belas kasihan dan keinginan kita untuk menolong saudara-saudara kita yang menderita karena lumpur itu? Hanya karena bayangan?


Salam dari Ancol, 22 September 2006
Wahyu

Thursday, September 14, 2006

Environmental Assessment of Hot Mud Flow, Sidoarjo, East Java, Indonesia

ENVIRONMENTAL ASSESSMENT REPORT
HOT MUD FLOW, (SIDOARJO) EAST JAVA, INDONESIA
Short version by Wahyu Budi Setyawan


------------------
This article is part of final technical report from The Joint UNEP/OCHA (Office of Humanitarian Affairs) Environmental Unit, entitled “Environmental Assessment Hot Mud Flow, East Java, Indonesia”, published by Joint UNEP/OCHA Environmental Unit, Switzerland, 2006.

Complete version of the report in http://rovicky.wordpress.com/
------------------


1. Introduction

Since 29 May 2006, a mud volcano has been emitting ‘hot mud’ in Sidoarjo district in
East Java, Indonesia. Mud volcanoes are geological phenomena due to subsurface over-pressurized mud layers. The cause of the eruption has not yet been established. However, it may be linked to the gas exploration activities by Lapindo Brantas at the Panjar Banji I well.
[Sejak 29 Mei 2006, suatu semburan lumpur, mud volcano, terjadi dan menyemburkan “lumpur panas” di Sidoarjo, Jawa Timur, Indonesia. “Mud volcano” adalah suatu gejala geologi yang disebabkan oleh lapisan-lapisan lumpur yang tertekan berlebihan. Penyebab semburan lumpur itu belum dapat ditentukan. Namun, mungkin berkaitan dengan aktifitas eksplorasi gas oleh Lapindo Brantas di Sumur Banjar Panji I]

The mud volcano emits mud at an average rate of more than 40,000 m3/day, and has inundated 4 adjacent villages, displacing nearly 7,000 people. Almost 12,000 (accumulative) medical treatments have been carried out, mainly for people affected by the release of hydrogen sulphide gas.
[Mud volcano mengeluarkan lumput dengan volume rata-rata lebih dari 40.000 m3/hari, dan telah menyebabkan 4 desa disekitarnya tergenang, hampir 7000 orang mengungsi. Hampir 12.000 (akumilatif) tindakan medis telah dilakukan, terutama bagi orang-orang yang terkena gas H2S yang lepas dari lumpur].

On 20 June, the Indonesian Ministry of Environment (KLH) made a request for technical assistance with the identification of environmental impacts of the ‘mud flow’ to the United Nations Office of Humanitarian Affairs (OCHA). OCHA Environmental Emergencies Section in collaboration with the OCHA Field Coordination Support Section deployed a United Nations Disaster Assessment and Coordination (UNDAC) team with five environmental experts from 25 June to 6 July 2006. Following a second request made by the Indonesian Ministry of Environment at the end of the UNDAC emergency mission on 27 July 2006, an environmental expert was redeployed to Indonesia. The government of Switzerland kindly provided the expert for this follow up mission.
[Pada tanggal 20 Juni 2006, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) mengajukan permintaan bantuan teknis untuk mengidentifikasi dampak lingkungan dari “aliran lumpur” kepada United Nation Office of Humanitarian Affair (OCHA, Kantor PBB untuk masalah kemanusiaan). Seksi Darurat Lingkungan (Environmental Emergencies Section) OCHA dengan bekejarsama dengan Seksi Dukungan Koordinasi Lapangan (Field Coordination Support Section) OCHA mengirimkan tim United Nation Disaster Assessment and Coordination (UNDAC, Koordinasi dan Penilaian Bencana PBB) yang beranggotakan 5 orang ahli masalah lingkungan dari tanggal 25 Juni sampai 6 Juli 2006. Menyusul permintaan ke-2 dari KLH pada akhir misi darurat UNDAC pada tanggal 27 Juli 2006, seorang ahli lingkungan kembali dsikirimkan ke Indonesia. Pemerintah Swiss dengan senang hati mengirimkan ahli itu untuk misi tindak lanjut].

This report contains the technical findings, conclusions and recommendations, including results of analysis by the Institute for Public Health and the Environment in the Netherland from the first mission, as well as the report of the follow-up mission.
[Laporan ini mengandung temuan-temuan teknis, kesimpulan, dan rekomendasi, termasuk hasil analisis oleh Instituite for Public Healt and the Environment (Institut Kesehatan Masyarakat dan Lingkungan) di Belanda dari misi pertama, serta laporan misi tindak lanjut].


2. Conclusions

Listed below is a brief summary of the concluding points. Each of these points is explained on the pages below:
1). impact on human health and the environment
2). sustainability of the above-ground basins
3). impact of sudden release of the mud
4). toxicity levels
5). risks
6). existing measuring and monitoring capacity.

2.1. Impact on human health and the environment
Samples and analysis indicate that the current impact of the physical and chemical characteristics of the mud on human health and environment is expected to be low, mainly due to the current practice of containment of the mud in above-ground basins. As an emergency response measure, the containment of the mud in above-ground basins is the best solution. Containment in basins limits exposure of the mud to humans and the environmental impact.
[Sampel-sampel dan hasil analisis menunjukkan bahwa dampak yang terjadi karena karakter fisika dan kimia lumpur diperkirakan rendah, terutama karena tindakan menampung lumpurdi kolam-kolam di permukaan tanah. Sebagai tindakan darurat, menampung lumpur di dalam kolam-kolam di permukaan tanah adalah solusi terbaik. Penampungan lumpur itu membatasi kontak antara lumpur dengan manusia dan dampak lingkungan].

2.2. Sustainability of above-ground basins
The above-ground basins are considered unsustainable due to the following factors:
1). dam wall collapse
2). approaching rainy season (overflow, saturation)
3). continuous emission of mud (average 40,000 m3/day).

[Kolam-kolam permukaan tanah tidak bisa untuk seterusnya karena faktor-faktor berikut:
1). Jebolnya tanggul
2). Musim hujan yang makin dekat (limpahan, kejenuhan)
3). Semburan lumpur yang berlanjut (rata-rata 40.000 m3/hari]



Dam wall collapse has been observed during the mission. The cause of the dam wall collapse is unknown. The rainy season normally starts in October, with mean total rainfall increasing from 47 mm in October to 105 mm in November and 327mm in January. This will most likely lead to overflow of the above-ground basins and saturation of the dam walls, resulting in dam wall collapse. There is no guarantee that the mudflow can or will be stopped. In any case, the mud flow will continue for months, and in a worst-case scenario, for years and exacerbate the humanitarian situation.
[Jebolnya tanggul telah diamati selama misi ini. Penyebab jebolnya tanggul tidak diketahui. Musim hujan normalnya dimulai pada bulan Oktober, dengan rata-rata curah hujan meningkat dari 47 mm di bulan Oktober menjadi 105 mm di bulan Nopember dan 327 mm di bulan Januari. Keadaan itu sangat mungkin menyebabkan melimpahnya lumpur bercampur air dan kejenuhan dinding tanggul, menyebabkan tanggul jebol. Tidak ada jaminan bahwa aliran lumpur dapat atau akan berhenti. Pada banyak kasus, aliran lumpur akan berlanjut berbulan-bulan, dan dalam suatu skenario terburuk, berlanjut bertahun-tahun dan memperburuk situasi kemanusiaan]


2.3. Impact of sudden release of mud
The mud is characterised by high salinity (comparable to sea water) and high turbidity (sediments) and can create anaerobe conditions. Sudden release of the mud into an aquatic environment (river, sea) will result in ‘killing’ the aquatic ecosystem with serious implications for those people dependent on these ecosystems (fish ponds, sea fishing). Release of mud onto agricultural land will destroy crops. In addition to these acute effects on agricultural land and aquatic environment, heavy metals, if proven to be present, will be released into the environment and into the food chain with possible long-term impacts on human health.
[Lumpur dicirikan oleh tingginya salinitas (dapat dibandingkan dengan air laut) dan kekeruhan yang tinggi (sedimen) dan dapat menciptakan kondisi anaerobik (tanpa oksigen). Pelepasan lumpur secara mendadak kedalam lingkungan berair (sungai, laut) akan menyebabkan kematian ekosistem air dengan implikasi yang serius bagi orang-orang yang bergantung pada ekosistem-ekosistem itu (tambak ikan, penangkapan ikan). Pelepasan lumpur ke lahan pertanian akan menghacurkan pertanian. Kelanjutan dari efek yang buruk terhadap lahan dan lingkungan perairan, logam-logam berat, bila berbukti ada, akan dilepaskan ke lingkungan dan ke dalam rantai makanan dengan kemungkinan dampak jangka panjang terhadap kesehatan manusia]

2.4. Toxicity levels
Due to some conflicting results of analyses conducted by local authorities, local universities and the UNDAC team, the main conclusion is that more research and monitoring of the quality of the mud is needed before final statements can be made on the toxicity of the mud. It is not determined whether the elevated levels of pollutants found by the local authorities are due to the natural composition or due to secondary pollution by, for example, the flooded industrial facilities in the affected area.
[Karena hasil penelitian dari otoritas lokal, universitas lokal dan tim UNDAC yang saling bertentangan, kesimpulan utama adalah bahwa diperlukan lebih banyak riset dan monitoring kualitas lumpursebelum pernyataan final tentang tingkat keracunan lumpur dapat buat. Tidak diketahui apakah kandungan polutan yang tinggi yang dijumpai oleh otoritas lokal adalah karena komposisi alamiah atau karena polusi sekunder olehberbagai fasilitas industri yang tergenang lumpur di daerah yang tertergenang].

Some results that can be reported are:
1). Media reports indicated the presence of phenols in the mud. None of the samples examined showed levels of organic compounds, including phenols, above normal expected background concentrations. Although the samples are not representative for the entire area of mud, there are no indications of significant deviations.
2). Air samples and measured air quality do not show concentrations of organic compounds and specific toxic gasses (including hydrogen sulphide) above expected background concentrations.
3). Based on samples and analysis, combined with existing data, indications exist that the mud content is not homogeneous. However, results of analysis performed by the UNDAC team and RIVM do not confirm this.
4). Some samples taken and analyzed by the local authorities (and university) show elevated levels of toxics, such as heavy metals, including mercury. Samples and analysis performed by the UNDAC team and RIVM (Netherlands) do not show elevated levels of organic compounds or heavy metals.
5). Radiation has been measured at RIVM and proven to be of background level for all types of radiation (alpha, beta and gamma).

2.5. Other risks
Risks from recurrence of toxic gas emissions, as well as occurrence of earthquakes and subsidence, are unknown and cannot be excluded.

2.6. Existing measuring and monitoring capacity
The existing capacity for measurement and monitoring of air, mud and water quality is sufficient to provide appropriate information to the decision-making process in the emergency response activities. However, there is a clear need for increased coordination and interpretation of data. There are many actors involved in sampling and measurement (i.e., KLH, ITS, Airlangga University, Agricultural entities, public works entities) but an agreed monitoring and analysis programme has not been agreed established, resulting in incomparable data and possible misinterpretation. This poses a serious risk for decision-makers.


3. Recommendations

Listed below is a brief summary of the recommendations. Each of these points is explained on the pages below:
1). reinforce above-ground basins
2). strengthen coordination, analysis and interpretation capacity
3). develop a medium term strategy
4). determine re-usability of the mud
5). continue to monitor humanitarian impact.

3.1. Reinforce above-ground basins
Enforcement of existing above-ground mud basins is urgently needed to prevent damage and dispersion caused by collapse. If the existing dam walls prove to be too weak to contain the mud, there is an urgent need for enforcement of the dam walls in order to maintain the high-level of containment (and therefore low exposure).

3.2. Strengthen coordination, analysis and interpretation capacity
The environmental authorities should strengthen their capacity for coordinating, analysing and interpreting the analyses focusing on the following critical parameters: heavy metals (in particular mercury) and salinity/conductivity (as indicator for the dispersion of mud). To achieve this, the following steps should be undertaken.

Step 1.
Action:
Agree on a method to obtain representative samples from the large surface area. For example:
a) divide all above-ground basins into imaginable rosters of 12 blocks of equal size.
b) take an equal number of samples from each roster block and mix to obtain a representative sample from each roster block.

Step 2.
Action:
Mix the representative samples from each block to obtain a representative sample from the entire basin.
Note: Although this is a standard and preferred way, the emergency situation and difficulties reaching central areas in the basin could allow mixing the entire basin using pumps and taking fewer samples.

Step 3.
Action:
Carry out a Robins test to verify the types of substances measured.
Note: For a Robins test, the environmental authorities should have the same blind sample analyzed by all entities involved and coordinate the agreement of methodology to be used for future analysis.

3.3. Develop a medium term strategy
There is an urgent need to develop a medium term strategy – parallel to the ongoing emergency response - based on a number of options, including a worst-case scenario. The environmental authorities should carry out a full and detailed environmental impact assessment of all options for mud management as soon as possible, involving local expertise and integrating humanitarian and social impacts. The next section outlines some possible scenarios for re-use and disposal of the mud.

3.4. Determine reusability of the mud
Measurements for radioactive isotopes (such as uranium and thorium) should be undertaken to determine the re-usability of the mud. Radioactive isotopes could occur as Naturally Occurring Radioactive Materials and are associated with geological formations.

3.5. Monitor humanitarian impactIt is recommended that the UN agencies, through the UN Technical Working Group for Disaster Risk Reduction (UN TWG) continue to monitor the humanitarian impact of this mudflow on the affected population. In case the situation deteriorates, affecting larger numbers of people in the area, the UN TWG, together with the Government of Indonesia, should quickly mobilize teams to assess the situation and determine the scope of a UN and/or international assistance intervention.


4. Future Outlook and Indicative Risk Assessment

As a first step towards developing medium term strategies, as well as providing guidance on possible options for re-use of the large quantities of mud, scenarios have been roughly developed in an attempt to identify the environmental impacts of different options.

The scenarios include discharging into the aquatic environment (river and marine) and exposure of agricultural land to the mud. Annex II provides further details on the possible options for mud management.

4.1. Marine environment exposure
The aquatic environment can be exposed to the mud for example, if a decision is made to deposit the mud at sea. This situation would occur in the event of a dam collapse or overflow, as the sea is located only few kilometres from the source. The mud would follow natural gravity and be transported via rivers to the sea (if no preventive measures are taken).

Impact
Numerous fish ponds are situated in the coastal zone. Apparently the marine environment, including former mangroves, has been degraded by the aquaculture activities. The table below provides an overview of expected impacts.

4.2. Agricultural land exposure
The mud is characterized by high salinity (comparable to sea water). Release mud with high salt content onto agricultural land can have a severe effect on the crop. However, more detailed research should still be conducted by local experts to assess other possible adverse effect of the mud disposal on agricultural fields

-----------
Annex 1. Toxic gas: hydrogen sulphide

As mentioned above, the eruptions were associated with the release of a toxic gas, most likely to have been hydrogen sulphide (H2S). Measurements, reported by the Indonesian Ministry of Environment, stated that hydrogen sulphide levels reached 700 parts per million (ppm) on the first day (apparently at the source), while the concentration dropped to 3 ppm on the second day of the events, down to 0 ppm on the third day. Although no further information about these measurements is known, the concentration of 700 ppm would suggest a direct and acute impact on human health – and can be fatal.

It is assumed that the hydrogen sulphide was contained in the over pressurised mud layer. During the site visits and sample taking, detectors were used (to ensure on-site safety of the team) and no hydrogen sulphide was detected. In addition, large numbers of people on and near the mud volcano confirmed that no release of toxic gases was taking place.


Annex 2. Summary of data and analyses from various institutions

Listed below is a summary of the data and analyses conducted by the different institutions to date:
1). All concentrations of metal and mercury are low and below the standards in the samples shown. Discussion however made clear that some samples showed high concentrations of metal. The mud seems to be not homogenous. A secondary source of pollution (possibly from the industrial facilities) might be an explanation for these concentrations.
2). Air concentrations of SO2, H2S, CO, NO2 are low (most below detection limits)
3). It is not clear if concentrations of H2S where high during the incident and if the in the press reported effects are linked to emissions.
4). Apart from the overall monitoring group formed by KLH, the forensic laboratory, agricultural university of Bogor (West Java), and Public Works authorities where also investigating the quality of the mud. No formal interaction between these groups was noted. The facilities of the forensic laboratory are expected to meet the quality standards needed (accredited laboratory including quality control and cross referencing).
5). The release of analytical results and consolidation of the results did not meet with the pace of the emergency and the required decision making process.
6). Difficulties are noted with the interpretation of the available information and dealing with uncertainties.
7). The analysis carried out where resource driven (normal measurements and routines) without a focus on the parametres critical for the specific incident and crisis management.
8). No timeframes, sequence nor deadliness for the delivery of consolidated factual information where set.


Annex 3. Independent sampling and analysis by the UNDAC team

In addition to the review of the data and analyses by the local institutions, UNDAC team conducted some independent sampling and analysis. The objective was to provide a reference and verification of a complete investigation (information gathering, sampling, analysis and interpretation) to the environmental authorities to identify toxic substances and subsequent hazards to the population and environment.

3.1. Identification of organic and inorganic compounds
In order to provide the most added value to the existing data, priority was given to the identification of organic and inorganic compounds present in the mud and air (sampling and analysis) of the emission point and at locations where the population is exposed. A detailed description of the research strategy, methodology is provided in an annex (I).

3.2. Additional activities
The following additional activities were also carried out:
1). Rehearsal and supervision of analysis of organic compounds in the mud samples taken by KLH.
2). Joint identification and interpretation of the results of samples with high heavy metal contents together with ITS. Provide interpretation of the results according to the Dutch water-, sludge- and soil standards. The Dutch water quality standards add to the currently used Indonesian standards of “discharge water into surface waters”. No sludge or soil standards were available. The intended use, discharge or disposal of the mud determines what standards should be applied (water, sludge or soil).

3.3. Results
Upon return of the team, RIVM (Dutch National Institute of Public Health and Environment in the Netherlands) undertook a full scan and identification of organic and inorganic substances in the mud and air samples taken by the UNDAC team for cross referencing. In addition radiation levels of the mud were measured. The results are summarised below:
1). Heavy metals in mud: all low, most of them like normal background values.
2). Organic compounds in air (by active and passive samplers): concentrations of benzene and toluene elevated at the source and the “exposure” location. Also xylenes and hydrocarbons are elevated. Based on the spectrum of this, different components and the fact that the “upwind” reference sample contains the same spectrum (although lower concentrations) we draw the conclusion that these components do not originate from the mud. Near to the sampling sites human activities take place (digging, pumping of mud, traffic) that allow concentrations of substances in this spectrum to occur. The upwind location was influenced less by these kind of activities.
3). Organic compounds in mud: no major elevations.
4). Radiation: normal background values or even below detection limits for all types of radiation.

-----

Semoga bermanfaat.

Salam dari Ancol, 14 September 2006
Wahyu

Friday, September 08, 2006

Bila Lumpur Dipertahankan di Darat: apa yang merisaukan?

Lumpur, bila hanya satu cipratan kecil, sepele. Diusap dengan tangan pun bersih. Tetapi bila jumlahnya jutaan meter kubik seperti yang sekarang mengolam dengan di Sidoarjo itu, siapa yang berani menganggap enteng padanya?

Mari kita lihat telah ditimbulkan oleh genangan itu (dari Koran Tempo, Rabu 6 September 2006):
1. PT. Telkom di Jawa Timur mengalami kerugian: (a) Kerugian kesempatan rata-rata Rp. 3 juta per hari, (b) Terputus 660 satuan sambungan telpon, (c) Infrastruktur garbu kabel fiber optik, rugi ditaksir Rp. 1,5 milyar, dan (d) Kabel yang ditanam di bawah tanah, kerugian mencapai Rp. 1 milyar; (e) perbaikan 240 jaringan dari 1.012 sambungan, menghabiskan dana Rp. 76 juta.
2. Sebanyak 24 perusahaan tergenang lumpur. Kerugian aset pabrik diperkirakan mencapai Rp. 163 milyar.
3. Jalan tol Surabaya – Gempol, setiap hari diperkirakan kehilangan pendapatan Rp. 60 juta karena penggratisan. Kerugian akibat kerusakan infrastruktur diperkirakan Rp. 10-12 milyar.
4. PT Perisahaan Listrik Negara, sebesar Rp. 6,4 milyar.

Kita masih bisa membuat sederetan lagi kerugian karena lumpur itu (bila ada memiliki datanya, silahkan diisikan):
1. Sawah yang tergenang ....... hektar.
2. Rumah yang tergenang ...... buah.
3. Sekolah yang rusak ........ buah
4. Orang yang mengungsi ........ orang
5. Orang yang kehilangan pekerjaan / mata pencaharian ....... orang
6. Perusahaan angkutan rugi kesempatan dan hilang penumpang ....... rupiah
7. Tambahan biaya angkutan barang ......... rupiah
8. Biaya pembuatan tanggul ........ rupiah
9. Berbagai fasilitas umum yang rusak ....... rupiah.
10. Eksportir yang rugi karena keterlambatan pengiriman barang ........ rupiah.

Masih bisa kita buat lagi kerugian yang tak terhitung (ada yang bisa mengkonversikannya ke nilai rupiah?):
1. Hidup dalam ketidak-pastian (sampai kapan semua masalah ini berakhir?)
2. Kehilangan barang-barang yang dicintai
3. Stress karena mengungsi
4. Hidup dalam kekhawatiran (bagaimana bila musim hujan tiba?)
5. Kerugian waktu, biaya, dan tenaga (yang seharusnya bisa untuk mengurus persoalan lain)

Lalu, kita juga masih bisa mempertanyakan: “Apakah semua biaya itu hanya sampai di situ saja?, atau akan terus bertambah lagi?, sampai kapan?”.

Kita semua tidak tahu sampai kapan semburan lumpur itu akan berhenti. Yang pasti, sekarang ini volume genangan makin terus menggelembung, dari hari ke hari. Bahkan, sekarang telah muncul lagi satu titik semburan baru di Desa Jatirejo, Porong (Detik.com, suarasurabaya.net, Media Indonesia online). Bisa dibayangkan kekhawatiran yang sedang dialami penduduk desa itu?

Bila lumpur panas itu terus kita pertahankan di darat (tidak boleh dibuang ke laut), maka bisa kita pastikan bahwa volumenya akan terus bertambah, sementara upaya nyata untuk mengurangi volumenya secara signifikan belum ada.

Bila kita bertahan dengan pilihan tetap mempertahankan lumpur di darat, hanya ada dua pilihan:
1. Mempertinggi tanggul untuk mengimbangi meningkatnya volume lumpur. Pilihan ini berarti kita memilih bahaya resiko tanggul jebol dan bahaya itu akan makin besar seiring dengan makin bertambahnya volume lumpur dan makin tingginya tanggul (sementara kita tahu kualitas tanggul yang ada sekarang, sangat tidak memadai karena sifatnya sementara). Sampai kapan pilihan ini sanggup kita pertahankan?
2. Memilih mempertahankan tinggi tanggul, berarti memilih memperluas kawasan genangan. Pilihan ini berarti pula memilih memperbesar angka-angka kerugian yang telah dideretkan di atas? Akan makin besar kerugian materil. Akan makin besar jumlah penduduk yang mengungsi. Akan makin besar penduduk yang mengalami stress. Dan seterusnya.

Adakah pilihan lain? Bagaimana bila berharap pada paranormal? Kejawen?
Sebagai alternatif upaya menyelesaikan masalah, mungkin ada diantara kita yang setuju dengan cara itu. Tetapi, apakah kita berani bertaruh sedemikian besar pada harapan yang tidak memiliki dasar yang dapat dipegang atau diperhitungkan?

Sekarang kita telah berada di awal bulan September. Musim hujan akan datang di bulan Oktober atau Nopember dan terus berlangsung sampai Februari atau Maret. Pertanyaan kita sekarang adalah, sanggupkah tanggul-tanggul yang kita buat itu menahan lumpur di musim hujan mendatang? Atau, kita berharap musim hujan tidak akan datang? Dan, mengharapkan tiba-tiba semburan lumpur berhenti menyemburkan lumpur besok pagi?

Atau, kita menunggu dipaksa “membuang” lumpur ke laut? (karena kelemahan yang tidak mampu membaca?).


Salam dari Ancol, Jum'at, 8 September 2006
Wahyu

Bila Lumpur Dibuang Ke Laut: siapa dan mengapa menentangnya?

Secara substansial, benar bahwa lumpur bukan polutan. Bila tidak mengandung bahan-bahan yang berbahaya dan beracun, lumpur tidak berbahaya. Bila jumlahnya sedikit, lumpur juga tidak menjadi masalah.
Yang menjadi persoalan sekarang adalah volume lumpur itu sangat besar dan terus bertambah dan kita tidak tahu kapan akan berhenti penambahannya itu. Dan, yang sangat dikhawatirkan adalah bila musim hujan tiba. Tanggul jebol. Daerah genangan bertambah luas.
Lumpur dipandang sebagai bahan galian? Benar, dan itu nampaknya telah dilakukan tanpa sadar ketika ada upaya membuat batu bata dari lumpur itu. Tetapi, masalahnya kembali pada berapa cepat kita sanggup menghabiskan lumpur itu? Bagaimana dengan kawasan yang digenanginya? Dan, kembali, bagaimana bila musim hujan tiba?

Lalu? Bila lumpur tidak berbahaya, bukan polutan, bagaimana bila dibuang ka laut?

Bila lumpur dibuang ke laut dalam jumlah sedikit. Tidak jadi masalah. Tetapi bila jumlahnya sangat banyak, ini baru masalah. Apa masalahnya?

Bila lumpur dalam jumlah besar masuk ke laut, maka akan terjadi dua hal: kekeruhan yang tinggi di kolom air, dan sedimentasi yang tinggi di dasar perairan. Kedua hal tersebut adalah hal yang sangat penting untuk diperhatikan, karena penting bagi kehidupan organisme di laut.

Setiap organisme laut membutuhkan sinar matahari, terutama tumbuhan dan plankton. Bila air menjadi sangat keruh, maka penetrasi cahaya akan terganggu. Hal itu dapat menyebabkan kerusakan ekosistem. Bagi organisme seperti ikan, kekeruhan yang tinggi sangat mengganggu. Ingsangnya bisa rusak fungsinya, terganggu oleh lumpur yang disaringnya. Demikian pula dengan sedimentasi yang tinggi, akan menyebabkan perubahan ekosistem melalui gangguan terhadap organisme bentonik. Koral yang tertutup oleh endapan lumpur atau terkena air yang sangat keruh dalam waktu lama bisa mati. Keadaan seperti itulah yang sangat tidak dikehendaki oleh para nelayan maupun pecinta lingkungan laut.
Berbagai aktifitas perikanan yang dapat terganggu oleh kondisi itu adalah (1) perikanan tambak, karena membutuhkan air yang tidak tinggi kekeruhannya untuk mengairi tambak, (2) perikanan budidaya di perairan, karena bila air terlalu keruh, biota yang dipelihara akan stress dan bisa mati, dan (3) perikanan tangkap, karena ikan akan menghilang dari daerah penangkapan ikan.

Kabarnya, kegiatan perikanan tambak merupakan kegiatan sektoral yang sangat penting di kawasan pesisir Sidoarjo (Kata teman saya, saya sendiri tidak punya infonya). Oleh karena itu wajar bila para petani tambak dan pihak-pihak lain yang ekonominya terancam akan menentang pilihan pembuangan lumpur ke laut.

Bagi pecinta lingkungan, mereka tentu juga akan ribut sekali bila ekosistem terganggu. Hal ini terutama disuarakan oleh LSM.

Untuk mengetahui seberapa besar kerugian yang akan timbul bila lumpur dibuang ke laut, kita perlu mengetahui ke mana lumpur itu akan pergi setelah mencapai laut, dan kegiatan perikanan apa saja yang akan terkena lumpur itu. Untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan itu, kita perlu mempelajari pola arus sepanjang tahun di perairan itu, dan memetakan ekosistem pantai dan berbagai kegiatan sektoral yang ada di kawasan itu.

Menurut hemat saya, pola arus sepanjang tahun adalah tetap. Dengan demikian, kawasan-kawasan yang akan terkena lumpur juga tetap luasannya. Karena, setelah menemukan jalannya, muatan lumpur itu hanya akan melalui jalan itu saja, dan tidak akan meleset jauh ke daerah-daerah lain. Terkait dengan hal ini, studi model dinamika perairan Selat Madura menjadi sangat penting.

Persoalan yang paling sulit dijawab, kembali pada masalah, berapa lama lumpur itu akan terus mengalir? 1 tahun, 2 tahun, 5 tahun, atau 25 tahun? Atau 100 tahun? Terkait dengan lamanya pemasukan lumur ini adalah masalah pemberian kompensasi kepada pihak-pihak yang dirugikan.

Salam dari Ancol, 8 September 2006
Wahyu
*Saat gerhana bulan

Wednesday, September 06, 2006

MENGAPA KITA TIDAK DUDUK BERSAMA MEMIKIRKAN PENYELESAIAN?

Sampai hari ini, agaknya pihak-pihak yang saling berbeda pendapat tentang apa yang harus dilakukan terhadap Lumpur Sidoarjo masih terus saling bersilang pendapat. Sementara Pemerintah masih tetap tampak ragu dan belum mengambil keputusan, dan penduduk mulai hilang kepercayaannya terhadap upaya menyelesaikan masalah ini, tampaknya mulai ada upaya menyelesaikan persoalan itu secara irrasional (Detik.com, Selasa, 5 September 2006).
Untuk bisa menyelesaikan masalah yang multi-dimensi ini, tidakkah baik bila kita semua duduk bersama, saling mengemukakan pendapat, saling mendengarkan, dan kemudian bersama-sama memikirkan jalan keluar yang terbaik. Kita menimbang persoalan tersebut dari berbagai sudut pandang dan kepentingan. Memikirkan dan mengambil keputusan apa yang seharusnya kita lakukan.
Dengan volume lumpur yang demikian besar dan terus menerus bertambah tanpa kepastian kapan akan berhenti, rasanya tidak ada pilihan penyelesaian yang tidak memiliki resiko atau dampak negatif. Oleh karena itu, yang perlu kita pikirkan sekarang adalah mencari alternatif penyelesaian yang paling sedikit resiko dampak negatifnya. Saya rasa semua pihak setuju dengan cara berpikir seperti ini: memilih alternatif dengan resiko negatif minimal diantara berbagai alternatif pilihan berresiko negatif. Saling bersikeras dengan pendapat masing-masing rasanya tidak akan menyelesaan persoalan, dan yang akan timbul adalah silang pendapat yang akan menambah rumit persoalan yang sebenarnya bisa disederhanakan.

Mari kita simak cuplikan berita berikut, dan kemudian berpikir apa yang sebaiknya kita lakukan. Cuplikan tersebut saya ambil dari berbagai sumber berita dan diskusi, yang selengkapnya saya tempatkan di bagian akhir. Mungkin tulisan ini jadi terlalu panjang dan membosankan, tetapi tidak apa, karena saya ingin memberikan gambaran yang terbaik akan situasi sekarang:

1). Masalah lumpur diselesaikan dengan: (a) membela kepantingan rakyat, (2) menjaga infra struktur, dan (c) lingkungan mendukung rakyat.
2). Semburan lumpur panas yang tak juga kunjung berhenti, membuat Pemkab Sidoarjo berpikir keras mencari solusi baru. Bersama dengan tim PT Lapindo Brantas Inc, Pemkab Sidoarjo akan mencari relokasi permanen warga korban lumpur panas.
3). Lapindo, katanya, diberi batas waktu sampai akhir November untuk menghentikan semburan lumpur.
4). ''Keadaan sudah darurat. Pemerintah harus tegas”.
5). Masyarakat terombang-ambing.
6). Banyak teknisi lapangan menyerah.
7). Tanggul penahan lumpur itu kini sudah setinggi 11 meter. Tanggul ini akan tak berarti apa-apa jika musim hujan tiba. Luberan lumpur yang saat ini sudah menyebar di tujuh desa dari tiga kecamatan, bakal melebar ke lebih banyak desa lagi bila tak diatasi segera.
8). Membuang lumpur panas milik PT Lapindo Brantas Inc ke laut dinilai oleh pakar pesisir dan lautan Institut Pertanian Bogor (IPB) sebagai 'kebijakan gegabah' dan malah akan menyebabkan petaka baru ekologis.
9). karena karakteristik dari laut itu berinteraksi dan bergerak dari satu tempat ke tempat lain. Sehingga, walaupun sudah memenuhi kriteria baku mutu tetap bahwa sedimennya akan berdampak pada kehidupan laut,''
10). Tetap menentang proses membuang limbah itu dibuang ke laut. Karena, akan menambah problem baru lingkungan, yang semula terjadi di darat, dan dengan gegabah kemudian akan dialihkan ke laut.
11). "Kita belum tahu arah arus karena data untuk mengetahui dinamika perairan kan masih sangat terbatas, sehingga saya tetap menyatakan menentang proses limbah itu dibuang ke laut,''
12). Pembuangan lumpur ke laut dikhawatirkan dapat menimbulkan kerugian secara sosial, ekonomi, dan lingkungan lebih besar jika dibandingan specific treatment yang dilakukan di darat. Menurutnya, solusi itu hanya akan menambah persoalan baru baik dilihat dari skala luasan daerah terkena dampak maupun dari sisi waktu penyelesaian.
13). Lumpur panas Lapindo tidak hanya terkontaminasi bahan pencemar seperti fenol, chlor, dan lainnya. Tetapi, yang lebih parah, terdapat material padatan tersuspensi (MPT). Ini merupakan partikel dengan ukuran sangat halus dan tersusun dalam jumlah cukup besar yang kemudian disebut lumpur panas.
14). Hal yang juga patut diperhatikan adalah dinamika oseanografi perairan Indonesia yang umumnya memiliki dua musim, yakni musim barat dan musim timur. Ditambah lagi musim pancaroba (paralihan) di antara perubahan kedua musim tadi.
15). Dikhawatirkan tidak hanya berdampak pada perairan sekitar Sidoarjo saja tetapi bakal terus meluas ke daerah lain sesuai musim yang berlangsung.
16). Saya yakin bencana lumpur di Sidoarjo itu gak akan menjadi MULTIDIMENSI kalau yang melakukan kecelakaan kerja pemboran sumur Banjar Panji-1 itu bukan Lapindo.
17). Persoalan menjadi Multidimensi (atau runyamnya) itu kan gak terlepas dari masalah salah seorang pemilik Lapindo yang "dibenci" banyak orang..... kalo urusan penanganan bencana dicampur dengan "dendam" bisnis, sentimen dll..... duh, kasian rakyatnya euy.... tidur bersama lumpur terus.
18). Modal dasarnya Lapindo itu berapa ya, pengeluaran untuk lumpurnya apa ya masih bisa ngatasi..... kalo secara hukum harusnya sudah pailit, lha kenapa Lapindo gak memailitkan diri saja..... resiko emang ditahan, tapi akan jelas yang akan kebakaran jenggot.
19). Perlu kehati-hatian dalam menangani hal ini karena sudah menjadi multi dimensi ketika sebuah proses bencana alam terpicu oleh proses manusia.
20). Awalnya sangat mungkin hanyalah sebuah kecelakaan industri, akhirnya "* memicu*" proses alam yg berkembang menjadi sebuah bencana. Dan akhirnya bermuara kehal-hal yang berdampak luas ke masalah sosial, ekonomi dan akhirnya politis. Curiga-mencurigai antar penduduk desa sekitar kolam-kolam penampungan ini jelas menunjukkan adanya dampak sosial yg kritis.
21). Lumpur yang keluar itu merupakan material alami bawah permukaan yg keluar dengan sendirinya (tanpa dipompa, dan tanpa "usaha" manusia untuk mengeluarkannya)
22). Aktifitas pemboran inilah yang "diduga" sebagai penyebab namun perlu diingat bahwa dugaan ini perlu pembuktian pengadilan, sehingga pembahasannya adalah pembahasan aspek hukum.
23). penghertian saya "limbah" merupakan side product dari sebuah proses produksi industri yg tidak dapat dipergunakan atau tidak memilki nilai ekonomi.
24). lumpur yg keluar ini "bukanlah tailing" dari sebuah proses pertambangan. Tidak ada penambangan apapun dari material yg keluar dari lubang keluarnya lumpur ini. Tidak ada material ekonomis yg sengaja diambil dari lumpur yg keluar ini.
25). Sesuatu yg keluar dari alam memang bisa saja bersifat polutan (pencemar), namun polutan dalam hal lumpur di Sidoarjo ini adalah polutan alami, "natural polluter". Banyak sekali proses-proses dialam dimana sebuah resources (termasuk air) yg tercemar oleh proses alam yg lain. Sehingga resources itu tidak dapat dipergunakan oleh manusia.
26). Dalam hal bencana banjir lumpur lapindo ini, kita berhadapan dengan sebuah bencana alam yg tidak diketahui kondisi teknis awal apa yang ada dan yang terukur dengan pasti. Semua parameter berada dibawah permukaan berupa parameter yg sifatnya interpretatif.
27). Karena yg keluar ini merupakan produk alami. Penanganannya semestinya sama dengan menangani proses alam yang lain, penanganan sebuah bencana alam bukan penanganan kecelakaan industri.
28). Terlepas apakah penyebab semburan ini adalah keteledoran para ahli pemboran Lapindo Brantas atau apakah pemboran yang gagal ini adalah sekedar pemicu akan terjadinya gejala ini (mungkin nantinya Pengadilan yang bisa memutuskan), yang menarik perhatian adalah gejala semburan lumpur ini yang boleh dikatakan unik di dunia.
29). Dalam mass media dikhabarkan bahwa lumpur itu mengandung zat berbahaya dan beracun, antara lain kadar Hg (air raksa) yang tinggi. Sebagai seorang ahli geologi saya heran, bagaimana lumpur yang berasal dari perut bumi bisa mengandung zat2 tersebut?
30). Jadi pendangkalan serta penambahan daratan ke arah selat Madura memang sudah terjadi secara alami. Bahkan konon Bengawan Solo juga dulunya mengalir ke Selat Madura yang sekarang disebut Kali Brantas, dan oleh Belanda dialihkan ke arah utara yang sekarang disebut Ujung Pangkah. Pada ujung ini terjadi suatu delta yang praktis dikatakan sebagai delta yang dipicu ulah manusia.
31). Mengalirkan .lumpur ke arah Selat Madura saya yakin akan terjadi proses alami dan tidak mencemari lingkungan, karena lumpur Lapindo itu material yang berasal dari endapan Selat Madura kuno, dan sekarang dikembalikan ke Selat Madura modern. Yang akan terjadi mungkin adalah percepatan dalam pendangkalan serta majunya pantai barat Selat Madura, yang tokh secara alami sedang berlangsung.
32). Dalam hal lumpur Lapindo, kita ini menghadapi zat ataun bahan bumi (earth material) yang akan dimasukan ke dalam lingkungan yang kebetulan sama juga dengan lingkungan di mana lumpur itu terbentuk.
33). Dari prinsip dasar ilmu geologi saja kita tahu bahwa lingkungan kita itu tidak pernah tetap, gejala-gejala alam yang lambat maupun yang bersifat mendadak, seperti erupsi gunung api dapat “mencemari” lingkungan, merusak biota bahkan menyebabkan kepunahan species bahkan sampai kategori kelaspun (Ingat punahnya Dinosaurus?). Dalam hal ini apakah suatu letusan gunung api di pantai yang menyemburkan abu serta lava pijar ke laut serta memusnahkan biota ditempat itu dapat dikatakan pencemaran lingkungan? Ini sering terjadi di Hawaii dan gunung api lainnya di Pasifik. Apakah letusan G. Merapi yang yang menghamburkan awan panas, abu dan gas yang beracun (saya yakin banyak gas H2S) serta mematikan kehidupan di daerah sekitarnya dianggap pencemaran lingkungan?
34). Boleh jadi saja semburan liar ini disebabkan atau dipicu oleh kelalaian pemboran pada Banjar Panji-1, namun gejalanya sendiri lebih merupakan gejala alam yang menyangkut bahan alami bukan bahan asing untuk lingkungan bumi.
35). Saya yakin dalam keadaan sekarang lumpur panas ini dapat dialirkan dengan aman dalam saluran terbuka ke Selat Madura, tidak perlu dalam pipa (yang berpotensi untuk tersumbat), bahkan dialirkan lewat K. Porong, yang konon adalah juga buatan manusia.
36). Water treatment yang diusulkan sebelum dialirkan ke laut adalah tidak masuk akal. Kalau memang harus dilakukan treatment, ya hasilnya tidak perlu dibuang kelaut, dijual saja ke PDAM atau perusahan air kemasan.
37). Mengapa masalah sederhana malah dijadikan sulit?
38). Saya usulkan supaya KLH mengkaji ulang pengertian mengenai apa yang disebut pencemaran lingkungan.
39). Sebaiknya para ilmiawan yang betul-betul mengerti mengenai proses alam seperti para ahli geologi juga dilibatkan, tetapi juga bukan para ahli geologi yang ikut hanyut dalam paranoid pencemaran lingkungan yang dewasa ini melanda masyarakat kita.
40). Rasanya kita ini diadu sama Polisi. Padahal yang tanggung jawab mestinya ya Lapindo. Kalau sampai sawah rusak, rumah kemasukan lumpur itu tanggung jawab Lapindo. Kami rasanya nggak percaya dengan omongan orang-orang lapindo itu,”


41). Meski kawasan Desa Keboguyang, masih sekitar 3 km dari lokasi titik semburan lumpur panas eksplorasi Lapindo Brantas Inc, tapi terendamnya sejumlah desa sekitarnya tak urung membuat warga ‘timur tol’ itu khawatir saat luberan lumpur mulai bergerak.
42). Prihatin nasib para korban lumpur panas eksplorasi Lapindo Brantas Incorporated, Senin (04/09) aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Kabupaten Sidoarjo, menggelar aksi. Diwarnai pembakaran boneka jerami.
43). “Hampir 100 hari luberan lumpur panas dari Lapindo Brantas itu tidak terlihat tanda-tanda bakal berhenti. Pemerintah seharusnya turun tangan menyelesaikan persoalan yang sangat menyengsarakan rakyat. Kalau tidak SBY – JK harus turun!!
44). usai melakukan pembakaran boneka itu, aktivis GMNI langsung meninggalkan lokasi. “Bikin kotor. Nambah-nambahi kerjaan saja,” ujar seorang anggota Polisi.
45). Ratusan warga yang mengamuk dan bentrok dengan polisi di Pendopo Kabupaten Sidoarjo tidak ingin nasibnya sama seperti warga desa yang sudah terendam lumpur.
46). warga di desanya hidup dalam kondisi terancam. “Desa kami adalah satu-satunya tempat tinggal kami. Sedangkan lumpur sudah tinggal 1 km lagi jaraknya dengan pemukiman warga di desa kami,”
47). lumpur dibuang saja ke Kali Porong daripada menggenangi desa mereka. Meskipun diakuinya ada upaya penanganan, tapi dinilainya itu tak cukup serius. “Bagaimana dikatakan serius? Ditangini, jebol lagi, ditinggikan, jebol lagi,”
48). Hidup dalam kondisi serba tak menentu seperti ini, papar NAWAI, warga menuntut Lapindo memberikan ketegasan apakah akan direlokasi atau bagaimana. “Sampai sekarang sama sekali belum ada sosialisasi mau diapakan warga ini. Seakan Lapindo tak peduli nasib rumah dan tanah kami. Kami tidak ingin nasib kami seperti warga Siring, jatirejo, dan Kedungbendo yang terkatung-katung seperti itu. Kami minta kejelasan,”
49). Ia juga menyayangkan sikap polisi yang disebutnya tidak melindungi masayrakat. Sebaliknya, justru memukuli rakyat. “Warga ini kondisinya panas. Lha kok dilarang ketemu pemimpinnya. Bukan hanya warga yang melempar batu, polisi pun melempari dan memukuli kita,”
50). Mereka marah karena beberaka kali minta supaya tanggul di desa mereka diperkuat dan tinggikan supaya lumpur Lapindo tidak meluber ke desa dan swah mereka, tapi dinilai mereka permintaan itu tidak mendapat tanggapan serius oleh Lapindo dan pihak terkait.
51). luberan lumpur panas mulai mendekati kawasan Desa Glagaharum, Kecamatan Porong. Buntutnya, warga mulai was-was, lumpur masuk ke pemukiman.
52). “Tanggul sudah dibuat. Malah dibagian dekat pemukiman dibuat rangkap dua. Tapi warga masih saja khawatir. Sekarang ini siskamling dilakukan lagi, untuk menjaga lingkungan termasuk memantau luberan lumpur itu, tetap saja warga masih was-was,”
53).

===========
Butir-butir pendapat di atas saya kutip dari sumber-sumber di bawah ini.

Pembuka ---------
Sumber: Radio Elshinta, Selasa, 5 September 2006, jam 11.10 WIB
Nara sumber: Meneg LH Rahmat Witoelar

Intinya ada tiga hal yang terungkap dari suara Pak Menteri, yang dapat saya dengarkan ketika sedang di dalam taksi di Jl. Jend. Sudirman, ketika menjawab pertanyaan tentang penanganan masalah Lumpur Sidoarjo itu, yaitu:
1). Membela kepentingan rakyat,
2). Menjaga infra struktur,
3). Lingkungan mendukung masyarakat.

Ke-satu -----------
Sumber: Republika Online, Selasa, 5 September 2006.
Di bawah judul berita: Sidoarjo Siapkan Relokasi Permanen
Sub-judul: Tanggul setinggi 11 meter tak berati saat hujan tiba.

SIDOARJO -- Semburan lumpur panas yang tak juga kunjung berhenti, membuat Pemkab Sidoarjo berpikir keras mencari solusi baru. Bersama dengan tim PT Lapindo Brantas Inc, Pemkab Sidoarjo akan mencari relokasi permanen warga korban lumpur panas.
Menurut Bupati Sidoardo, Win Hendrarso, tim III Satlak Kabupaten Sidoarjo ditugaskan mengidentifikasi daerah yang dapat menjadi tempat relokasi permanen tersebut. Paling cepat, harap Win, relokasi permanen itu sudah terwujud pada akhir tahun ini.
……….
Sementara saat menerima ribuan demonstran di Pendopo Kabupaten Sidoarjo, kemarin (4/9), Bupati Sidoarjo mengungkapkan hasil pertemuannya dengan Gubernur Imam Utomo dan Presiden Yudhoyono beberapa waktu lalu. Lapindo, katanya, diberi batas waktu sampai akhir November untuk menghentikan semburan lumpur.
Di Jakarta, sebanyak 20 tokoh Jatim yang dipimpin Ketua Wilayah NU Jatim, KH Ali Maschan Moesa, mendatangi Ketua DPR, Agung Laksono. Mereka mendesak pemerintah bertindak lebih cepat mengatasi luapan lumpur tersebut. Selain itu, mereka meminta pemerintah menunjuk satu pejabat setingkat menteri menangani hal ini. ''Keadaan sudah darurat. Pemerintah harus tegas”.
Sementara masyarakat terombang-ambing,'' kata Ali Maschan Moesa. Peluang menutup sumber luapan lumpur, katanya, kemungkinannya kini tinggal lima persen saja. Dengan semburan lumpur 60 ribu meter kubik per hari dan lebar pusat semburan yang sudah mencapai 150 meter, menyebabkan banyak teknisi lapangan menyerah.
Apalagi, tanggul penahan lumpur itu kini sudah setinggi 11 meter. Tanggul ini akan tak berarti apa-apa jika musim hujan tiba. Luberan lumpur yang saat ini sudah menyebar di tujuh desa dari tiga kecamatan, bakal melebar ke lebih banyak desa lagi bila tak diatasi segera.

Ke-dua --------------
Sumber: Republika Online, Selasa, 5 September 2006
Di bawah judul berita: Buang Lumpur Lapindo ke Laut Petaka Baru Ekologis

BOGOR -- Membuang lumpur panas milik PT Lapindo Brantas Inc ke laut dinilai oleh pakar pesisir dan lautan Institut Pertanian Bogor (IPB) sebagai 'kebijakan gegabah' dan malah akan menyebabkan petaka baru ekologis. Seperti diketahui, hingga kini lumpur panas tersebut belum dapat diatasi semburannya dan telah merendam rumah warga di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur (Jatim) ke laut,
''Kebijakan (lumpur Lapindo) dibuang di laut itu gegabah karena karakteristik dari laut itu berinteraksi dan bergerak dari satu tempat ke tempat lain. Sehingga, walaupun sudah memenuhi kriteria baku mutu tetap bahwa sedimennya akan berdampak pada kehidupan laut,'' kata Kepala Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor (PKSPL-IPB) Prof Tridoyo Kusumastanto, MS di Bogor, Senin.
Tridoyo mengaku tetap menentang proses membuang limbah itu dibuang ke laut. Karena, akan menambah problem baru lingkungan, yang semula terjadi di darat, dan dengan gegabah kemudian akan dialihkan ke laut.
Ia mengemukakan, kalau persoalan limbah terjadi di darat, maka itu akan berhenti di satu tempat, sedangkan kalau di laut, maka dinamika perairan akan dibawa ke berbagai wilayah. ''Padahal kita belum memiliki data memadai untuk mengetahui akan ada dampak atau tidak ke wilayah laut di sekitar Surabaya, Selat Madura atau bisa keluar dari Selat Madura. Nah, implikas inya, yang dekat ke situ kan Bali, itu kawasan wisata,'' katanya.
Ketika ditanya apakah dengan demikian, bila limbah lumpur itu dibuang ke laut bisa sampai ke kawasan perairan di pulau Bali, ia menjawab, "Kita belum tahu arah arus karena data untuk mengetahui dinamika perairan kan masih sangat terbatas, sehingga saya tetap menyatakan menentang proses limbah itu dibuang ke laut,'' kata guru besar Fakultas Ilmu Perikanan dan Kelautan IPB itu.
Sementara itu, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Chalid Muhammad, mengatakan bahwa pembuangan lumpur ke laut dikhawatirkan dapat menimbulkan kerugian secara sosial, ekonomi, dan lingkungan lebih besar jika dibandingan specific treatment yang dilakukan di darat. Menurutnya, solusi itu hanya akan menambah persoalan baru baik dilihat dari skala luasan daerah terkena dampak maupun dari sisi waktu penyelesaian.
Hal tersebut terjadi lantaran lumpur panas Lapindo tidak hanya terkontaminasi bahan pencemar seperti fenol, chlor, dan lainnya. Tetapi, yang lebih parah, terdapat material padatan tersuspensi (MPT). Ini merupakan partikel dengan ukuran sangat halus dan tersusun dalam jumlah cukup besar yang kemudian disebut lumpur panas.
Selain itu, lanjut dia, ada dua faktor yang mempengaruhi proses pengendapan lumpur secara sempurna, yakni velocity atau kecepatan aliran dan diameter ukuran butir. Semakin besar diameter ukuran butir, maka makin cepat mengalami pengendapan. ''Dalam kasus ini, pemisahan lumpur panas terhadap air sebelum dibuang ke laut tidak mungkin dilakukan dalam skala besar. Ini artinya, lumpur panas itu akan ikut mengalir ke perairan laut.''
Hal yang juga patut diperhatikan adalah dinamika oseanografi perairan Indonesia yang umumnya memiliki dua musim, yakni musim barat dan musim timur. Ditambah lagi musim pancaroba (paralihan) di antara perubahan kedua musim tadi. Dinamika oseanografi tersebut, imbuhnya, akan membuat pembatasan daerah yang terkena dampak akan sulit dilakukan. Sehingga, dikhawatirkan tidak hanya berdampak pada perairan sekitar Sidoarjo saja tetapi bakal terus meluas ke daerah lain sesuai musim yang berlangsung.ant/yus

Ke-tiga ---------
Sumber: IAGI-net, Selasa, 5 September 2006
Di bawah subjek: Kecelakaan industri yang menjadi bencana alam yg multidimensi
Pendapat dari: Ariadi Subandrio

saya yakin bencana lumpur di Sidoarjo itu gak akan menjadi MULTIDIMENSI kalau yang melakukan kecelakaan kerja pemboran sumur Banjar Panji-1 itu bukan Lapindo.
Katakanlah misalnya BP yang ngebor di Banjarpanji, kalau mereka "diperlakukan" seperti saat ini, saya yakin kedutaan besar Inggris juga akan turun tangan, atau Exxon atau Total... , persoalan menjadi Multidimensi (atau runyamnya) itu kan gak terlepas dari masalah salahseorang pemilik Lapindo yang "dibenci" banyak orang..... kalo urusan penanganan bencana dicampur dengan "dendam" bisnis, sentimen dll..... duh, kasian rakyatnya euy.... tidur bersama lumpur terus.

Modal dasarnya Lapindo itu berapa ya, pengeluaran untuk lumpurnya apa ya masih bisa ngatasi..... kalo secara hukum harusnya sudah pailit, lha kenapa Lapindo gak memailitkan diri saja..... resiko emang ditahan, tapi akan jelas yang akan kebakaran jenggot.

lam-salam,
ar-.

Ke-empat -------------
Sumber: IAGI.net, Selasa, 5 September 2006
Di bawah subjek: Kecelakaan industri yang menjadi bencana alam yg multidimensi
Pendapat dari: Rovicky Dwi Putrohari

*Salah seorang teman netter menanyakan pendapat saya tentang penanganan
lumpur ini.*

Perlu kehati-hatian dalam menangani hal ini karena sudah menjadi multi dimensi ketika sebuah proses bencana alam terpicu oleh proses manusia. Awalnya sangat mungkin hanyalah sebuah kecelakaan industri, akhirnya "* memicu*" proses alam yg berkembang menjadi sebuah bencana. Dan akhirnya bermuara kehal-hal yang berdampak luas ke masalah sosial, ekonomi dan akhirnya politis. Curiga-mencurigai antar penduduk desa sekitar kolam-kolam penampungan ini jelas menunjukkan adanya dampak sosial yg kritis. Ketika sudah berkembang menjadi wacana politis, lagi-lagi diluar kompetensi saya sebagai seorang "*natural scientist*".

[image: More...]
Seperti yg saya uraikan dalam tulisan-tulisan saya di webblog "*dongeng geologi*" (http://rovicky.wordpress.com ) dimana saya lebih berkonsentrasi dengan apa yg terjadi dan bagaimana bisa terjadi proses keluarnya lumpur dari perut bumi. Awalnya kejadian ini hanyalah sebuah niatan untuk menambah pasokan energi Indonesia. Niatan ini tentunya terpicu oleh "niat ekonomis", mencari untung. Proses awal inilah yg mungkin sekali menjadikan kejadian bencana banjir lumpur. Sesuai dengan kompetensi saya, maka saya hanya membatasi proses alami yng terjadi.

*Lumpur Lapindo "bukan limbah" dan juga "bukan tailing".*

**
Lumpur yang keluar itu merupakan material alami bawah permukaan yg keluar dengan sendirinya (tanpa dipompa, dan tanpa "usaha" manusia untuk mengeluarkannya). Lumpur yg keluar ini bisa dan mungkin saja keluar akibat terpicu oleh aktifitas pengeboran. Aktifitas pemboran inilah yang "diduga" sebagai penyebab namun perlu diingat bahwa dugaan ini perlu pembuktian pengadilan, sehingga pembahasannya adalah pembahasan aspek hukum yg diluar kompetensi saya.

Menurut penghertian saya "limbah" merupakan side product dari sebuah proses produksi industri yg tidak dapat dipergunakan atau tidak memilki nilai ekonomi. Perlu diketahui juga bahwa lumpur yg keluar ini "bukanlah tailing" dari sebuah proses pertambangan. Tidak ada penambangan apapun dari material yg keluar dari lubang keluarnya lumpur ini. Tidak ada material ekonomis yg sengaja diambil dari lumpur yg keluar ini. Tailing merupakan material ikutan dalam sebuah proses penambangan. Karena bahan tambang memilki konsentrasi rendah maka proses pengambilan bahan tambang ini menghasilkan material bumi yg suangat banyak yg tidak dipergunakan dan disebut "tailing". Sekali lagi lumpur yg keluar ini bukanlah "tailing"

Sesuatu yg keluar dari alam memang bisa saja bersifat polutan (pencemar), namun polutan dalam hal lumpur di Sidoarjo ini adalah polutan alami, "natural polluter". Banyak sekali proses-proses dialam dimana sebuah resources (termasuk air) yg tercemar oleh proses alam yg lain. Sehingga resources itu tidak dapat dipergunakan oleh manusia.

*Munculnya issue merkuri (Hg)*

Hingga saat ini hanya berita dari Tempo yang saya baca mengenai adanya
pencemaran bahwa " hasil analisa Lily Pudjiastuti (ITS) tentang kandungan merkuri (Hg) yang didapati 2.565 mg/liter Hg (limit 0.002 mg/liter)" dikutip Koran Tempo. Kalau bener ada kandungan sebesar itu berarti lokasi lumpur yg sekarang ada disebut sebagai TAMBANG MERKURI. Coba dihitung saja, kalau debtnya 50 000 meter kubik sehari, berapa kg merkuri yg dihasilkan perhari ?

Kalau yang dimaksud 2,565 mg/liter itu adalah 2.565 gr/liter (karena ambangnya adalah 0.002 mg/l, masalah pengertian . dan , apakah . dalam bahasa Inggris yang sama dengan , dalam bahasa Indonesia) saya akan mengatakan kepada ibu Lily bahwa beliau telah menemukan sumberdaya baru dalam lumpur: "bijih air raksa (Hg)". Secara guyonan dalam diskusi di Ikatan Ahli Geologi Indonesia ada pameo "wah kita dapat tambang air raksa dalam semburan lumpur " [image: )] .

Mengapa guyonan ini muncul ? Karena menurut buku Exploration and Mining Geology dari Peters (1978): kadar bijih mercury adalah antara 0.2% sampai 8%. Bahkan kalau benar angka yg disitir oleh tempo tersebut maka bijih Hg ini memprosesnya tidak sulit, sudah keluar sendiri, tidak perlu crusher dan sebagainya tinggal diolah atau disaring saja. Tapi inget tentu lain kalau yang dimaksud adalah 2.565 mg/liter (dua koma lima enam lima). Beda seper seribu dari angka yg dimaksud dalam eksplorasi mineral bijih.

Yang saya khawatirkan issue tersebut menjadi "*membusang*" dan "*membuyat*". Sehingga perlu penelitian ulang unsur-unsur kimia fisika dari material yg keluar dari lubang (sedekat mungkin dengan lubang). Penelitiannya terbuka hasil maupun metodenya termasuk juga penelitian rona awal dari daerah sepanjang sungai Porong. Semua data penelitian ini penting untuk proses pembelajaran bersama. Yang nantinya potensial menjadi konflik adalah, akan muncul ketika *siapa *yang dianggap independen sebagai peneliti kandungan lumpur ini.

*Penanganan banjir lumpur*

Bencana banjir lumpur ini berbeda dengan bencana pencemaran tumpahan minyak Exxon dengan muntahnya minyak dari kapal tanker Exxon-Valdez pada tahun 1989 dan juga berbeda dengan bencana industri PLTN Chernobyl. Kedua bencana terakhir ini juga sama-sama dipicu oleh kegiatan manusia, namun jumlah bahan polutan, serta semua parameter teknis awalnya sangat "terukur". Kita tahu jumlah minyak mentah yg tumpah sebanyak 11 juta gallon, kita tahu secara teknis berapa bobot mati serta konfigurasi dari kapal Exxon-Valdez.
Demikian juga dengan parameter-parameter awal dari Chernobyl, kita tahu jumlah bahan-bakar nuklir yang ada, kita tahu konstruksi bangunan PLTN ini.

Dalam hal bencana banjir lumpur lapindo ini, kita berhadapan dengan sebuah bencana alam yg tidak diketahui kondisi teknis awal apa yang ada dan yang terukur dengan pasti. Semua parameter berada dibawah permukaan berupa parameter yg sifatnya interpretatif. Kesamaannya hanyalah, efek serta dampak lingkungannya menjadi mencengangkan ketika kita tidak mampu mendeteksi apa yg bakal terjadi selanjutnya.Exxon-Valdez maupun Chernobyl menjadi sebuah kecelakaan yg tidak mampu ditangani oleh manusia, demikian juga keluarnya lumpur dari perut bumi ini.Kedua contoh kecelakaan diatas menjadi sebuah bencana mirip seperti bencana banjir lumpur ini ketika tidak dapat dikontrol lagi, dan banyak pula yang menyetarakan tingkat kebencanaannya (uncontrolled).

Karena yg keluar ini merupakan produk alami. Penanganannya semestinya sama dengan menangani proses alam yang lain, penanganan sebuah bencana alam bukan penanganan kecelakaan industri. Secara mental kita harus berpikir bahwa banjir lumpur ini sudah merupakan *bencana *bukan lagi saatnya berpikir sebagai kecelakaan kerja atau kecelakaan industri lagi. Namun sekali lagi saya tidak mau menyentuh aspek hukum maupun politis, karena kompetensi saya bukan disitu.

Salam
*Rovicky Dwi Putrohari*
http://rovicky.wordpress.com

Ke-lima ------------
Sumber: *Rovicky Dwi Putrohari* http://rovicky.wordpress.com
Pendapat dari: Prof. Dr. R. Koesoemadinata
MASALAH PEMBUANGAN LUMPUR LAPINDO BRANTAS KE LAUT
KLH harus Menkaji Ulang Pengertian Pencemaran Lingkungan.

Oleh
Prof. Dr. R. Koesoemadinata
Mantan Guru Besar Ilmu Geologi ITB
Indonesia belakangan ini dirundung bencana, bencana alam maupun bencana yang dipicu oleh kelakuan manusia dalam usahanya untuk memodernisasikan negara Indonesia. Gejala bencana ini tidak ada yang sangat menarik perhatian adalah munculnya semburan lumpur panas di Sidoardjo yang boleh jadi dipicu dengan kegagalan pemboran explorasi sumur Banjar Panji oleh PT Lapindo Brantas dalam usaha pencaharian minyak dan gas bumi di daerah . Tentu hal ini dilakukan dalam rangka penambahan cadangan dan produksi minyak dan gas bumi Indonesia yang belakangan ini melorot, demi pertumbuhan ekonomi yang sehat, selain tentunya untuk mencari keuntungan yang besar bagi para pemilik saham perusahaan tersebut.
Terlepas apakah penyebab semburan ini adalah keteledoran para ahli pemboran Lapindo Brantas atau apakah pemboran yang gagal ini adalah sekedar pemicu akan terjadinya gejala ini (mungkin nantinya Pengadilan yang bisa memutuskan), yang menarik perhatian adalah gejala semburan lumpur ini yang boleh dikatakan unik di dunia. Yang jadi masalah adalah jumlah cairan yang konon terdiri dari 70% air dan 30 zat padat yang membanjiri daerah Sidoarjo dan mengancam pemukiman serta melumpuhkan perekonomian, khususnya industri dan transportasi di daerah sekitarnya. Jika pencemaran lingkungan tidak jadi masalah penyelesaiannya sederhana saja, alirkan lumpur panas yang tokh akhirnya akan mendingin juga ke laut, ke Selat Madura, dari mana lumpur itu berasal.
Dalam mass media dikhabarkan bahwa lumpur itu mengandung zat berbahaya dan beracun, antara lain kadar Hg (air raksa) yang tinggi. Sebagai seorang ahli geologi saya heran, bagaimana lumpur yang berasal dari perut bumi bisa mengandung zat2 tersebut? Rekan saya dari Tim Independent Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) yang telah mengambil contoh lumpur langsung dari lokasi semburan memberitakan bahwa hasil analisa kimia serta analisa lainnya tidak meununjukan kehadliran Hg atau logam berat lainnya (paling tidak semuanya jauh dibawah 0.10 mg/liter). Hasil analisa mikropaleontologi menunjukkan bahwa lumpur itu mengandung fosil foraminifera (cangkang zat renik bersel satu) yang dahulu hidup di lingkungan laut yang sama dengan di Selat Madura. Sejak dahulu para ahli geologi Belanda seperti Van Bemmelen (1949) menyatakan bahwa beberapa ratus ribu bahkan lebih 1 juta tahun (zaman Pleistocene) Selat Madura itu menjorok jauh ke barat hampir sampai kota Semarang. Sungai-sungai seperti Bengawan Solo dan lain-lain bermuara di selat Madura purba ini dan mengendapkan sedimen seperti pasir dan lumpur sebagai delta pada pantainya yang berangsur-angsur terjadi pendangkalan dan daratan pun bertambah ke arah pantai Selat Madura dekat Sidoarjo. Jadi pendangkalan serta penambahan daratan ke arah selat Madura memang sudah terjadi secara alami. Bahkan konon Bengawan Solo juga dulunya mengalir ke Selat Madura yang sekarang disebut Kali Brantas, dan oleh Belanda dialihkan ke arah utara yang sekarang disebut Ujung Pangkah. Pada ujung ini terjadi suatu delta yang praktis dikatakan sebagai delta yang dipicu ulah manusia.
Jadi sebetulnya dengan mengalirkan .lumpur ke arah Selat Madura saya yakin akan terjadi proses alami dan tidak mencemari lingkungan, karena lumpur Lapindo itu material yang berasal dari endapan Selat Madura kuno, dan sekarang dikembalikan ke Selat Madura modern. Yang akan terjadi mungkin adalah percepatan dalam pendangkalan serta majunya pantai barat Selat Madura, yang tokh secara alami sedang berlangsung.
Dalam hal ini tentu yang jadi masalah adalah Contoh-contoh seperti Chernobyl, Peledakan Pabrik Kimia di India, tumpahnya minyak dari tanker Exxon Valdez dst, itu betul-betul dapat dinyatakan sebagai pencemaran lingkungan yang berat. Tetapi dalam hal lumpur Lapindo, kita ini menghadapi zat ataun bahan bumi (earth material) yang akan dimasukan ke dalam lingkungan yang kebetulan sama juga dengan lingkungan di mana lumpur itu terbentuk. Kekhawatiran akan rusaknya biota dsb adalah sangat berlebihan dan boleh dikatakan merupakan paranoid yang sedang melanda kita semua, khususnya para ahli lingkungan. Dari prinsip dasar ilmu geologi saja kita tahu bahwa lingkungan kita itu tidak pernah tetap, gejala-gejala alam yang lambat maupun yang bersifat mendadak, seperti erupsi gunung api dapat “mencemari” lingkungan, merusak biota bahkan menyebabkan kepunahan species bahkan sampai kategori kelaspun (Ingat punahnya Dinosaurus?). Dalam hal ini apakah suatu letusan gunung api di pantai yang menyemburkan abu serta lava pijar ke laut serta memusnahkan biota ditempat itu dapat dikatakan pencemaran lingkungan? Ini sering terjadi di Hawaii dan gunung api lainnya di Pasifik. Apakah letusan G. Merapi yang yang menghamburkan awan panas, abu dan gas yang beracun (saya yakin banyak gas H2S) serta mematikan kehidupan di daerah sekitarnya dianggap pencemaran lingkungan? Gunung-gunung api yang tidurpun seperti G. Tangkuban Perahu di utara Bandung dan banyak lagi di seluruh Indonesia, bahkan di dunia setiap harinya menghamburkan belerang murni dalam bentuk gas maupun gas H2S entah berapa ribu ton ke atmosfer. Tetapi tidak ada ahli lingkungan yang peduli serta mempermasalahkan “acid rain” yang ditimbulkan. Pada waktu G. Krakatau meletus dengan dahsyatnya pada tahun 1883 seluruh biota di lereng gunung itu hancur dan memusnahkan kehidupan. Namun hanya dalam beberapa puluh tahun saja kehidupan sudah pulih kembali, karena kekenyalan (resilience) dari alam itu sendiri untuk mengembalikan keseimbangan lingkungan.
Dalam hal semburan lumpur Lapindo ini memang merupakan gejala unik. Boleh jadi saja semburan liar ini disebabkan atau dipicu oleh kelalaian pemboran pada Banjar Panji-1, namun gejalanya sendiri lebih merupakan gejala alam yang menyangkut bahan alami bukan bahan asing untuk lingkungan bumi. Banyak para ahli geologi yang menganalogikan semburan lumpur ini dengan gejala alam yang disebut “mud-volcano” yang banyak tersebar di Indonesia (khusunya di Indonesia Timur dikenal dengan istilah poton), bahkan di Jawa Timur Utara pun banyak diketemukan, seperti Bleduk Kuwu dekat Purwodai, G. Anyar dekat Surabaya bahkan di selatan K Porong, yang di masa lalu menyemburkan lumpur tetapi sekarang sudah mati. Tentu pada waktu itu lumpur itu mengalir dengan sendirinya dan berakhir di laut dan ini merupakah gejala alamiah saja. Mungkin pada waktu itu belum ada KLH atau LSM-LSM lingkungan, bahkan manusiapun pada waktu itu belum ada untuk memprotes pencemaran lingkungan.
Dalam hal semburan lumpur di Sidoarjo, seandainya tidak ada bangunan seperti jalan, perumahan, pabrik dsb, maka secara alamiah lumpur it akhirnya akan mengalir ke laut (Selat Madura) juga. Saya yakin dalam keadaan sekarang lumpur panas ini dapat dialirkan dengan aman dalam saluran terbuka ke Selat Madura, tidak perlu dalam pipa (yang berpotensi untuk tersumbat), bahkan dialirkan lewat K. Porong, yang konon adalah juga buatan manusia. Saya kira air sungai dan air tanah di sekitar Sidoarjo itu sudah lebih tercemar oleh limbah industri daripada lumpur dari semburan yang masih murni. Water treatment yang diusulkan sebelum dialirkan ke laut adalah tidak masuk akal. Kalau memang harus dilakukan treatment, ya hasilnya tidak perlu dibuang kelaut, dijual saja ke PDAM atau perusahan air kemasan.
Jadi sebetulnya mengapa masalah sederhana malah dijadikan sulit? Mungkin terpengaruh iklan rokok tertentu. Tentu banyak orang berprasangka adanya oknum-oknum tertentu yang mencari keuntungan dalam kesempitan.
Sebagai penutup saya usulkan supaya KLH mengkaji ulang pengertian mengenai apa yang disebut pencemaran lingkungan. Sebaiknya para ilmiawan yang betul-betul mengerti mengenai proses alam seperti para ahli geologi juga dilibatkan, tetapi juga bukan para ahli geologi yang ikut hanyut dalam paranoid pencemaran lingkungan yang dewasa ini melanda masyarakat kita.

Ke-enam ---------
Sumber: suarasurabaya.net, 05 September 2006, 16:20:15, Laporan J. Totok Sumarno

Pasca Bentrok, Warga ‘Timur Tol’ Tak Percaya Lapindo

ssnet| Pasca bentrok dengan petugas Dalmas Polisi pada aksi di depan pendopo Kabupaten Sidoarjo, Senin (04/09) kemarin, sejumlah warga masyarakat ‘Timur Tol’ mengaku tak percaya dengan Lapindo Brantas.

“Buktinya mana? Reno Kenongo akhirnya ya tenggelam. Tanyakan saja sama warganya yang sekarang ngungsi di pasar sana. Setelah demo kemarin, kita kepruk-keprukan sama Polisi, jangan harap Lapindo bisa seenaknya di desa kami,” tutur AHMAD QOTIM warga Desa Keboguyang, Kecamatan Jabon, Selasa (05/09).

Ditemui suarasurabaya.net, di ujung Desa Permisan tak jauh dari areal pemasangan pipa Lapindo Brantas Incorporated ditepi tanggul Kali Porong, AHMAD QOTIM bersama sekitar sepuluh orang warga desa lainnya kembali bercerita tentang aksi baku pukul lawan Polisi, Senin (04/09) kemarin.

“Percuma. Rasanya kita ini diadu sama Polisi. Padahal yang tanggung jawab mestinya ya Lapindo. Kalau sampai sawah rusak, rumah kemasukan lumpur itu tanggung jawab Lapindo. Kami rasanya nggak percaya dengan omongan orang-orang lapindo itu,” lanjut AHMAD QOTIM.

Meski kawasan Desa Keboguyang, masih sekitar 3 km dari lokasi titik semburan lumpur panas eksplorasi Lapindo Brantas Inc, tapi terendamnya sejumlah desa sekitarnya tak urung membuat warga ‘timur tol’ itu khawatir saat luberan lumpur mulai bergerak.

“Jangan sampai kami ini meninggalkan desa, dengan sia-sia. Ini tanah kelahiran kami. Kami nggak rela tanah kelahiran kami jadi danau lumpur. Ini tanah kelahiran kami turun temurun,” ujar ASNAWI yang mengaku warga Desa Permisan, kawasan paling timur tol Porong - Gempol, Selasa (05/09).

Kawasan tepi kali Porong atau biasa disebut kawasan ‘timur tol’, seperti diberitakan sebelumnya menolak pemasangan pipa diesel penyedot air sungai oleh Lapindo Brantas. Aksi Jumat (01/09) itu diwarnai pembakaran tenda petugas. Sedangkan Senin (04/09), aksi berlanjut didepan pendopo Kabupaten Sidoarjo, berbuntut bentrok lawan Polisi.

Ke-tujuh -----------
Sumber: suarasurabaya.net, 04 September 2006, 17:50:54, Laporan J. Totok Sumarno

Prihatin Nasib Korban Lumpur, GMNI Bakar Boneka

ssnet| Prihatin nasib para korban lumpur panas eksplorasi Lapindo Brantas Incorporated, Senin (04/09) aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Kabupaten Sidoarjo, menggelar aksi. Diwarnai pembakaran boneka jerami.

Aksi yang digelar didepan pendopo Kabupaten Sidoarjo itu, hanya berlangsung beberapa saat saja, usai ribuan warga Kecamatan Jabon menggelar aksi.

“Hampir 100 hari luberan lumpur panas dari Lapindo Brantas itu tidak terlihat tanda-tanda bakal berhenti. Pemerintah seharusnya turun tangan menyelesaikan persoalan yang sangat menyengsarakan rakyat. Kalau tidak SBY – JK harus turun!!” teriak satu diantara orator.

Pada aksinya, Senin (04/09) didepan pendopo Kabupaten Sidoarjo tersebut, DPC GMNI Kabupaten Sidoarjo menuntut, diantaranya, pihak Lapindo Brantas segera menyerahkan aset yang dimiliki kepada Pemerintah.

“Secepatnya Lapindo Brantas mengganti kerugian materi atau non materi kepada para korban. Selanjutnya Pemerintah harus mengusut tuntas peristiwa ini, sepertinya ada unsur kesengajaan dari manajemen Lapindo sendiri,” ujar UKI mewakili aktivis GMNI yang berunjuk rasa, Senin (04/09).

Dibawah pengamanan sejumlah anggota Polisi dan Satpol PP Pemkab Sidoarjo, aksi GMNI dipungkasi dengan membakar sebuah boneka seukuran manusia yang terbuat dari jerami. Sayangnya, usai melakukan pembakaran boneka itu, aktivis GMNI langsung meninggalkan lokasi. “Bikin kotor. Nambah-nambahi kerjaan saja,” ujar seorang anggota Polisi sambil menyiramkan sebotol air kemasan.

Ke-delapan ---------
Sumber: suarasurabaya.net, 04 September 2006, 10:07:37, Laporan Eddy Prasetyo

Marah, Tak Mau Desanya Terendam Lumpur

ssnet| Ratusan warga yang mengamuk dan bentrok dengan polisi di Pendopo Kabupaten Sidoarjo tidak ingin nasibnya sama seperti warga desa yang sudah terendam lumpur. Hal ini ditegaskan NAWAIN satu diantara perwakilan warga Desa Permisan yang dijadwalkan bertemu dengan Ketua Satlak dan Bupati Sidoarjo, Senin (04/09).

Pada MARTHA reporter Suara Surabaya, NAWAIN mengatakan saat ini warga di desanya hidup dalam kondisi terancam. “Desa kami adalah satu-satunya tempat tinggal kami. Sedangkan lumpur sudah tinggal 1 km lagi jaraknya dengan pemukiman warga di desa kami,” kata NAWAIN.

Warga, tegas NAWAIN, meminta lumpur dibuang saja ke Kali Porong daripada menggenangi desa mereka. Meskipun diakuinya ada upaya penanganan, tapi dinilainya itu tak cukup serius. “Bagaimana dikatakan serius? Ditangini, jebol lagi, ditinggikan, jebol lagi,” imbuhnya.

Hidup dalam kondisi serba tak menentu seperti ini, papar NAWAI, warga menuntut Lapindo memebrikan ketegasan apakah akan direlokasi atau bagaimana. “Sampai sekarang sama sekali belum ada sosialisasi mau diapakan warga ini. Seakan Lapindo tak peduli nasib rumah dan tanah kami. Kami tidak ingin nasib kami seperti warga Siring, jatirejo, dan Kedungbendo yang terkatung-katung seperti itu. Kami minta kejelasan,” tegasnya lagi.

Ia juga menyayangkan sikap polisi yang disebutnya tidak melindungi masayrakat. Sebaliknya, justru memukuli rakyat. “Warga ini kondisinya panas. Lha kok dilarang ketemu pemimpinnya. Bukan hanya warga yang melempar batu, polisi pun melempari dan memukuli kita,” ujarnya. Akibat bentrokan itu, sejumlah warga, kata NAWAIN mengalami luka-luka.

Sedikitnya 600 warga dari Desa Permisan dan ratusan lainnya dari 3 desa lain masing-masing Glagaharum, Plumbon, dan Keboguyang mendatangi Pendopo Kabupaten Sidoarjo diangkut sedikitnya 26 truk.

Ke-sembilan ---------
Sumber: suarasurabaya.net, 04 September 2006, 09:51:15, Laporan Iping Supingah

Unjukrasa Soal Lumpur
Warga Jabon Bentrok di Pendopo Kabupaten Sidoarjo


ssnet| Warga dari Glagaharum, Keboguyang, Plumbon, Permisan dan bebeberapa desa dari Kecamatan Jabon, Sidoarjo terlibat bentrok dalam unjuk rasa di Pendopo Kabupaten Sidoarjo.

Dilaporkan MARTHA reporter Suara Surabaya, ribuan warga yang datang dengan puluhan truk ini emosi dan marah ketika tahu polisi menutup pintu gerbang pendopo.

Kondisi memanas, pengunjuk rasa pun akhirnya melempar batu, sandal, dan memukul dengan kayu ke arah polisi yang berjaga di sana.

Ada sebagian warga dan petugas polisi yang meredam supaya tidak melempar sesuatu ke polisi. Tapi mereka tetap nekat bahkan sudah 3 kali aksi lempar batu dan saling pukul ini terjadi saat unjukrasa di Pendopo Kabupaten Sidoarjo pada Senin (04/09) hari ini.

Sebelumnya warga Kecamatan Jabon ini datang ke pendopo sudah melengkapi dirinya dengan kayu-kayu, juga mengambil batu di sekitaran pendopo. Mereka marah karena beberaka kali minta supaya tanggul di desa mereka diperkuat dan tinggikan supaya lumpur Lapindo tidak meluber ke desa dan swah mereka, tapi dinilai mereka permintaan itu tidak mendapat tanggapan serius oleh Lapindo dan pihak terkait.

Pengamanan polisi dilaporkan reporter MARTHA tidak seimbang dengan jumlah warga yang berunjukrasa.

Selain warga Jabon, direncanakan sekitar pukul 10.00 nanti ratusan buruh juga akan demo menuntut uang gaji dan relokasi pabrik akibat terendam lumpur Lapindo Brantas Incoroporated yang menyembur di Porong Sidoarjo.


Ke-sebelas -----------
Sumber:suarasurabaya.net,02 September 2006, 16:35:25, Laporan J. Totok Sumarno

Lumpur Mendekat, Warga Desa Glagaharum Mulai Was-was

ssnet| Luberan lumpur panas Lapindo Brantas Incorporated, makin meluas. Sabtu (02/09) luberan lumpur panas mulai mendekati kawasan Desa Glagaharum, Kecamatan Porong. Buntutnya, warga mulai was-was, lumpur masuk ke pemukiman.

Setelah jebolnya tanggul di dekat KM 39 ruas jalan tol, lumpur panas akhirnya meluber kebeberapa kawasan pemukiman warga masyarakat disisi timur pusat semburan lumpur. Bahkan sampai Sabtu (02/09) rembesan lumpur panas masih terus mengalir, meski tidak sederas dua hari sebelumnya.

“Tanggul sudah dibuat. Malah dibagian dekat pemukiman dibuat rangkap dua. Tapi warga masih saja khawatir. Sekarang ini siskamling dilakukan lagi, untuk menjaga lingkungan termasuk memantau luberan lumpur itu, tetap saja warga masih was-was,” ungkap AHMAD QODHIM warga RT 2 RW 1 Dusun Risen, Desa Glagaharum, Sabtu (02/09).

Kecemasan warga yang pemukimannya mulai ‘didekati’ lumpur panas, wajar terjadi. Mengingat apa yang sudah terjadi pada beberapa desa lainnya disekitar semburan lumpur panas Lapindo Brantas Incorporated, yang kini sudah tenggelam itu.

“Mau nggak mau ya harus keluar dari rumah. Kalau lumpur sudah masuk dan tambah tinggi, mau apa lagi? Paling-paling ngringkesi barang-barang yang masih bisa dibawa, soro Mas” ujar KUSNAN warga RT 4 RW 1 Risen, Glagaharum pada suarasurabaya.net, Sabtu (02/09).

Lumpur memang masih berjarak sekitar 50 meter dari pemukiman terdekat warga Desa Glagaharum, tapi warga memang sudah terlihat was-was. Mereka diantaranya ada yang sudah mencoba membuat tanggul-tanggul darurat didepan rumah masing-masing.

=======

Salam dari Ancol, 6 September 2006
Wahyu